Suatu survei yang dilakukan terhadap 1.237 ahli manajemen risiko dari 55 negara, mengungkapkan risiko-risiko global apa saja yang diperkirakan mencemaskan perusahaan-perusahaan di tingkat global, termasuk di kawasan Asia. Survei yang bertajuk Allianz Risk Barometer dilakukan oleh Allianz Global Corporate & Specialty (AGCS). Suatu survei tahunan yang dilakukan oleh AGCS, dan ini memasuki tahun keenam.
Business Interruption, termasuk terganggunya supply chain, masih terus menjadi gangguan bagi sebagian besar perusahaan secara global, yang merupakan gangguan paling tinggi sebagaimana disebutkan dalam Allianz Risk Barometer yang diumumkan pada pertengahan Januari 2017.
Perusahaan-perusahaan di dunia semakin mencemaskan lingkungan bisnis yang sulit untuk diprediksi, dengan volatilitas pasar, dan bahaya politik –seperti proteksionisme dan terorisme– yang semakin meningkat. Hal-hal lain yang mencemaskan perusahaan-perusahaan di dunia adalah dilema digital yang muncul dari adanya teknologi-teknologi baru tapi sekaligus juga ancaman cyber risks, dan risiko katastrofi karena bencana alam (natural catastrophic).
Business Interruption ternyata terus menjadi risiko yang dianggap besar (37 persen responden) selama lima tahun berturut-turut. Bukan hanya karena dapat menyebabkan kerugian yang besar, tapi juga karena mendorong munculnya berbagai pemicu baru khususnya kerusakan non-fisik atau bahaya yang tidak kelihatan, seperti kecelakan-kecelakaan cyber dan gangguan karena kekerasan politik, pemogokan, dan serangan teror. Tren ini didorong sebagian oleh meningkatnya “Internet untuk Segalanya” dan saling keterhubungan yang sangat besar antara mesin, perusahaan, dan supply chains mereka, yang akan dengan mudah melipatgandakan kerugian dalam suatu peristiwa yang terjadi. Kegagalan pemasok, misalnya, merupakan suatu risiko business interruption yang sangat ditakuti oleh perusahaan-perusahaan, terutama yang berkaitan dengan penggunaan pemasok tunggal, berbiaya murah atau dari pabrik-pabrik yang murah di negara-negara di mana tenaga buruh sangatlah murah.
Masalahnya, seperti dikatakan oleh CEO AGCS Asia Mark Mitchell dalam laporan tersebut, pemotongan biaya dapat menyebabkan bencana karena begitu supply chains ambruk, maka risiko menjadi besar. Untuk menjamin bisnis bisa aman dan jalan terus, ia mengatakan, maka perusahaan perlu mempertahankan tingkat tertentu kerja sama dengan pemasok dan pada tingkat harga yang bersaing.
Sedangkan mengenai perkembangan dan volatilitas pasar (31 persen responden) merupakan bahaya bisnis kedua yang sangat penting selama 2017 dan dalam bidang-bidang aviation atau pertahanan, jasa keuangan, marine, perkapalan, dan transportasi di kawasan Afrika dan Timur Tengah. Untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang mendadak dalam aturan yang berdampak pada pasar, perusahaan-perusahaan perlu investasi pada lebih banyak sumberdaya agar dapat memantau politik dan pembuat kebijakan di seluruh dunia pada 2017. Menurut survei itu, ada 600 sampai 700 hambatan perdagangan yang dikeluarkan setiap tahunnya di dunia sejak 2014.
Cyber risks, menurut hasil survei Allianz Risk Barometer, merupakan bahaya global yang ketiga (30 persen responden). Ketergantungan yang semakin meningkat terhadap teknologi dan otomatisasi menyebabkan transformasi dan pada waktu yang bersamaan juga mengganggu perusahaan di seluruh sektor industri. Digitalisasi memang membawa kesempatan-kesempatan baru, tapi juga mengubah sifat aset perusahaan yang biasanya bersifat fisik menjadi semakin tidak kelihatan (intangible) dan menjadi sasaran cyber risks. Dianjurkan agar perusahaan-perusahaan perlu memikirkan data adalah aset dan perlu dilindungi dalam penggunaannya.
Bencana alam dan perubahan cuaca menjadi hal yang dianggap bahaya oleh perusahaan-perusahaan di dunia (24 persen responden dan enam persen responden). Di Asia, gempa bumi Kumamoto di Jepang pada 2016 dianggap sebagai bencana yang paling merugikan dan mematikan. Bencana alam dianggap sebagai hal paling memprihatinkan di Jepang dan Hong Kong. Termasuk banjir di Thailand Selatan.
Hasil survei tahunan Allianz Risk Barometer mengungkapkan business interruption, volatilitas pasar, cyber risks, dan bencana alam menjadi hal-hal yang dianggap membahayakan kelangsungan bisnis di tahun 2017. Mucharor Djalil
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News