Seorang bankir sebuah bank swasta besar di Indonesia pernah mengungkapkan bahwa ketergantungan bank yang dipimpinnya pada teknologi informasi adalah 99,9 persen. “Memang ada yang hanya bisa dikerjakan oleh faktor manusia, tapi ketergantungan kita pada tekonlogi informasi sangat tinggi sekarang ini,” katanya di Jakarta.
Kegiatan bisnis suatu perusahaan, termasuk industri jasa keuangan (financial service industry), tak dapat dipungkiri sangat tinggi ketergantungannya pada teknologi informasi. Ketergantungan yang begitu tinggi pada tekonologi informasi, tentu mengundang risiko yang tinggi bagi suatu perusahaan dalam kegiatan bisnisnya. Risiko yang tinggi ini dapat berujung pada kerugian yang besar.
Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Lloyd’s, mengutip survei yang dilakukan oleh perusahaan analis risiko siber Cyence, mengungkapkan bahwa serangan global terhadap jaringan internet (cyber attack) berpotensi menyebabkan kerugian sebesar 53 miliar dolar AS. Padahal, menurut laporan tersebut, sebagian besar risiko kerugian karena serangan tidak diasuransikan, yang tentunya ada insurance gap.
Dalam laporan yang bertajuk “Counting the cost: Cyber exposure decoded” tersebut, bahkan dinyatakan bahwa kerugian yang disebabkan oleh cyber attack dapat menyamai atau bahkan lebih besar dari kerugian karena bencana alam badai tropis Superstorm Sandy.
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa kerugian cyber attack memang dapat lebih banyak atau lebih sedikit tergantung pada ketidakpastian dari kegiatan bisnis yang berkaitan dengan risiko cyber tersebut. Jadi tergantung pada faktor-faktor seperti perbedaan keterlibatan suatu perusahaan dalam cyber dan berapa lama berhentinya kegiatan bisnis tersebut.
Tak hanya laporan dari Lloyd’s dan analis risiko siber Cyence mengenai cyber attack. Laporan lainnya yang dikeluarkan oleh Palo Alto Networks juga mengungkapkan besarnya risiko kerugian kalau terjadi cyber attack tersebut, yang melakukan survei terhadap organisasi atau perusahaan di kawasan Asia Pasifik.
Survei yang dilakukan oleh Palo Alto Networks, melibatkan lebih dari 500 profesional dalam bisnis di kawasan APAC, yang meliputi pasar Australia, Cina, Hong Kong, India, dan Singapura.
Setidaknya ada dua tren, menurut Palo Alto Networks, yang mendorong perusahaanperusahaandi kawasan tersebut untuk meningkatkan sumberdayanya kepada cyber security karena rentan cyber attack, yaitu meningkatnya cloud services dan BYOD (bring your own device). Hasil survei menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di kawasan Asia Pasifik sebagian besar (74 persen) mengalokasikan dananya untuk menangani hal tersebut.
Survei ini juga menunjukkan bahwa perusahaan dengan karyawan lebih dari 500 orang, sebanyak 86 persen menganggarkan untuk menangani teknologi informasi yang berkaitan dengan cyber security. Perusahaan jasa keuangan bahkan meningkatkan anggarannya lebih besar dari pada sektor lainnya dalam menangani cyber security ini. Dan perusahaan dengan jumlah karyawan 50 orang atau kurang dari itu, ternyata 68 persen memandang cyber attack sebagai hal yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, dengan tidak menaikkan anggaran untuk menangani hal tersebut.
Menurut perkiraan Lloyd’s, pasar cyber insurance berkisar 3-5 miliar dolar AS. Sedangkan menurut PriceWaterhouse Cooper (PwC), pasar cyber insurance mencapai 7,5 miliar dolar AS pada tahun 2020. Sementara itu, menurut laporan dari lembaga rating Fitch dan A.M. Best, perusahaan-perusahaan asuransi telah membukukan premi cyber insurance sebesar 1,35 miliar dolar AS pada 2016, meningkat 35 persen dari 2015.
Di Indonesia, ketergantungan perusahaan-perusahaan terhadap teknologi informasi juga semakin besar, apalagi sekarang e-commerce sudah mulai berkembang. Tentunya membutuhkan cyber insurance. Mucharor Djalil
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News