Per 1 Januari 2025, perusahaan asuransi di Indonesia harus mengimplementasikan Financial Reporting Standard IFRS 4. Standar akuntansi IFRS 4 yang sudah digunakan sejak Maret 2004 dianggap sudah tak lagi (IFRS) 17, sebuah standar akuntansi global yang menggantikan International relevan karena kurang transparan dan tidak mencerminkan pengaruh lingkungan ekonomi.
Meski IFRS 17 ini adalah standar akuntansi global tapi ada dua negara di dunia ini yang tidak mewajibkan adopsi bagi industri asuransinya yaitu Amerika Serikat dan Jepang. AS berdalih memiliki standar akuntansi sendiri yaitu US Generally Accepted Accounting Principles (GAAP), sedangkan Jepang memiliki JGAAP. Bagaimana dengan Indonesia?
Sudah barang tentu, Indonesia adalah satu dari 168 negara yang memutuskan untuk meratifikasi IFRS 17. Di Indonesia, IFRS 17 telah diterjemahkan menjadi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 74 dan PSAK 117 yang akan berlaku efektif pada 1 Januari 2025.
Pada edisi Agustus 2023, Media Asuransi menurunkan laporan tentang sejauhmana kesiapan industri asuransi menghadapi implementasi IFRS 17. Meski saat itu mayoritas pelaku usaha asuransi menyatakan kesiapannya, tapi nyatanya sampai sekarang implementasi IFRS 17 masih menjadi isu yang ‘dikeluhkesahkan’ di industri. Pasalnya, selain menelan biaya besar hingga ratusan miliar rupiah, implementasi IFRS 17 berpotensi mengoreksi kinerja pendapatan dan laba bersih dari perusahaan asuransi.
Berdasar perhitungan dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu, dalam forum diskusi di Jakarta pada medio Desember 2024, implementasi IFRS 17 atau PSAK 117 akan berdampak signifikan terhadap laporan keuangan perusahaan asuransi yaitu penurunan pada pos ekuitas, pendapatan, dan laba.
Bahkan, koreksi untuk pendapatan diperkirakan dapat mencapai 40 persen, sedangkan untuk laba bersih diperkirakan terkoreksi hingga 30 persen. Efek samping yang menggerus kinerja keuangan ini tentu menjadi tantangan berat bagi pelaku usaha asuransi nasional di tengah implementasi regulasi lain yang menuntut kesehatan dan peningkatan ekuitas perusahaan asuransi. Ditambah lagi, beberapa produk asuransi yang menjadi tumpuan perusahaan asuransi kondisinya sedang tidak baik-baik saja.
Masih dalam forum diskusi itu, ada pertanyaan menggelitik dari audiens yaitu apakah implementasi IFRS 17 akan berdampak terhadap peningkatan bisnis perusahaan asuransi dan pelayanan kepada nasabah? Jawabannya tentu sudah dapat ditebak yaitu TIDAK ADA. Seperti itulah kira-kira jawaban yang diberikan oleh para pembicara baik dari asosiasi maupun perusahaan asuransi di acara diskusi tersebut.
Menurut salah satu pembicara, investor adalah pihak yang paling diuntungkan dalam implementasi IFRS 17 ini karena mereka akan dimudahkan dalam mengomparasikan kinerja keuangan dari perusahaan asuransi di seluruh penjuru dunia. Namun, apakah ‘keseragaman’ ini lantas akan membuat industri asuransi nasional menarik di mata investor global sehingga berbondong-bondong menginvestasikan modalnya di perusahaan asuransi di Indonesia?
Jawaban si pembicara ini mengonfirmasi pernyataan yang pernah disampaikan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono terkait tujuan implementasi IFRS 17. Saat itu, Ogi menyampaikan bahwa implementasi PSAK 74 yang diadopsi dari IFRS 17 dapat mengatasi isu asymmetric information yang menyulitkan para stakeholder terkait baik konsumen, investor, dan regulator, untuk mendapat gambaran yang benar dan lengkap mengenai kondisi keuangan dan kinerja operasional perusahaan asuransi.
Isu berikutnya yang muncul dalam implementasi IFRS 17 adalah pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan belum mau mengakui pembukuan berdasarkan IFRS 17. Wajar Ditjen Pajak ‘menolak’ mengakuinya karena akan berdampak menimbulkan potensial loss pendapatan negara.
Alhasil, perusahaan asuransi harus melakukan dua pembukuan laporan keuangan yaitu pembukuan berdasarkan IFRS 4 untuk Ditjen Pajak dan berdasarkan IFRS 17 untuk regulator dan publik. Kalau selama ini pembukuan dengan dua buku hukumnya haram, kini di ‘era rezim’ IFRS 17 pembukuan dua buku hukumnya menjadi halal.
Suka tidak suka, IFRS 17 tetap harus diimplementasikan per 1 Januari 2025 karena OJK telah menyatakan komitmennya terkait penggunaan standar akuntansi global untuk industri asuransi Tanah Air. Yang pasti ada harga mahal yang harus dibayar, tidak hanya mahal dari sisi biaya implementasinya tapi juga mahal dari sisi dampaknya bagi industri asuransi nasional yang sedang tidak baik-baik saja ini.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News