Setiap goresan kuas di kanvas, memiliki makna yang hanya bisa dimengerti oleh pelukis itu sendiri atau orang yang hatinya telah menyatu dengan seni lukis. Lukisan bukan hanya sebuah elemen dekorasi dinding semata, namun, bagi kalangan tertentu memiliki nilai yang sarat makna. Penasaran dengan macam-macam lukisan dari seniman ternama? Kali ini penulis ingin mengajak pembaca untuk berkunjung ke bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Tepatnya di Galeri Cemara 6.
Malam itu 20 September 2016 di Cemara 6 Gallery-Museum, terlihat Prof Dr Toeti Heraty N Roosseno asyik berbincang dengan para tamu, diantaranya Duta Besar Italia, Duta Besar Bosnia, desainer kondang Harry Darsono, dan beberapa tamu eksekutif lainnya. Ditemani makanan kecil dan teh hangat, mereka bercengkerama menunggu acara seremonial pembukaan pameran seni lukis karya seniman asal Italia, Andrea Pouncey.
Mengetahui kedatangan Media Asuransi, wanita 83 tahun itu mempersilahkan untuk bergabung. Dia bercerita bagaimana perjuangannya saat awal mula merintis Galeri Cemara 6 ini. Putri sulung dari Menteri Pekerjaan Umum RI era Presiden Soekarno ini mengisahkan Galeri Cemara 6 ini tercipta karena suatu ‘kecelakaan’. Saat itu sekitar tahun 1993, kenang Toeti, memperingati ulang tahunnya yang ke-60, dia menggelar acara pameran hasil karya Salim, pelukis Indonesia yang tinggal di Perancis.
Nahasnya, tidak satupun lukisan Salim saat itu dapat dijual karena terbentur dengan aturan perpajakan yang besar di tanah air. Dilandasi dengan rasa tanggung jawab, akhirnya Toeti memborong seluruh lukisan Salim yang dibawa dari Paris tersebut. Ternyata inilah ‘kecelakaan’ yang dimaksud oleh Toeti. “Sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta saat itu, saya bertanggung jawab untuk membeli seluruh lukisan Salim. Semua karyanya yang dipajang tidak bisa dijual. Ini ‘bencana’ bagi dia,” kenangnya.
Untuk mengoleksi lebih banyak lukisan lagi, wanita ini menghubungi Mochtar Apin agar menggelar pameran hasil karyanya. “Diapun bersedia menggelar karyanya di rumah saya, Jalan Cemara nomor 6. Itulah awal dari terbentuknya Galeri Cemara 6 ini. Beberapa tahun kemudian saya memugar rumah saya dan dijadikan sebagai museum menyambung dengan galeri,” tambah Toeti.
Tidak lama berselang, di tengah perbincangan tiba-tiba terlontar pertanyaan dari Toeti, “Apakah kalian telah bekeliling di rumah saya?” Serentak kami jawab belum. Dia katakan, (kalau belum) itu adalah suatu kesalahan. Saat itu juga, Toeti memanggil salah satu stafnya, Eti, untuk memandu kami berkeliling mengunjungi museum dan galeri. Dari sinilah dimulai kunjungan mengesankan di Galeri Cemara 6.
Tempat pertama yang menjadi sasaran Eti menggandeng kami adalah ruangan semacam tempat pertemuan dengan corak tradisional yang dipadu dengan ukiran ala Timur Tengah. Keempat sisi ruangan tersebut dihiasi dengan berbagai macam karya pelukis ternama. Eti memperkenalkan sebuah lukisan abstrak karya terakhir pelukis Basuki Abdullah. Dengan bangganya wanita itu menerangkan, lukisan itu dibuat beberapa saat sebelum Basuki Abdullah meninggal, karenanya karya tersebut termasuk koleksi utama bagi Toeti.
Setelah memperkenalkan satu demi satu lukisan yang terpajang di ruang utama, Eti menggiring kami ke ruangan selanjutnya. Di tempat ini suasananya berbeda. Jika di ruang utama tempatnya agak sedikit luas dan terbuka, namun di sini lebih terkesan lebih privat dengan suasana yang sejuk dan lebihnyaman. Saat menginjak ruangan ini, kami disambut oleh bingkai lukisan potret Salim, sang maestro yang berperan dalam berdirinya Galeri Cemara 6. Di deretan berikutnya bertengger karya-karya yang kualitasnya tidak diragukan lagi. Satu per satu dijelas-kan dengan seksama oleh Eti, bahwa puluhan lukisan di dinding ruangan itu merupakan hasil goresan Salim.
Merinding? Iya… itulah yang kami rasakan saat itu. Seolah sosok Salim hadir di tengah- tengah kami, memperhatikan dan mengawasi kami yang sedang mengagumi setiap hasil karya imajinasinya. Hati ini membatin, pantaslah Toeti sangat mengagumi pelukis kelahiran Sumatera Utara tersebut. Seakan tidak bosan memandang dan membaca makna demi makna dari goresan cat Salim di atas kanvas, sekalipun makna itu masih berupa teka-teki misteri yang belum terpecahkan. Sangat fenomenal. Mungkin ini yang disebut dengan ketertarikan biological, yakni sifat intrinsik akan muncul dengan refleks saat mengamati setiap senti dari karya Salim ini, walaupun tidak dipahami secara pasti dari mana sebenarnya titik tariknya itu.
Setelah puas berselancar dalam dimensi kreativitas Salim, selanjutnya kami diarahkan menuruni tangga menuju lantai bawah. Inilah tempat Toeti menghabiskan waktu kesehariannya. Pastinya tempat ini masih dalam ruang lingkup karya seni yang menjadi koleksi Toeti dengan berbagai macam lukisan yang menutupi sebagian besar sisi ruangan. Karya pelukis ternama ternama Indonesia seperti Affandi, Basuki Abdullah, Kartika Affandi, dan Sudjojono berjejer elok, lengkap dengan tema masing-masing karya lukis. Begitu apiknya Toeti merawat dan menjaga seluruh koleksinya.
Sebagai bonus dari Eti, kami juga diajak menuju sebuah ruangan yang di dalamnya tersusun rapi ratusan judul buku dalam berbagai bidang. Inilah pustaka pribadi milik Toeti. Eti mengaku kalau ia sering menemani Toeti membaca di sini. “Ibu itu mengetahui dengan detil setiap buku yang ada di rak. Kalau ingin merujuk sesuatu, Ibu cukup bilang di rak mana, di buku itu, dan di halaman sekian,” ungkap Eti dengan takjub. Malam semakin larut, saatnya kami bergabung bersama tamu lainnya dalam pameran lukisan karya Andrea di ruangan yang lain. Di tempat ini telah berkumpul banyak orang, mereka adalah para penggemar karya lukis. Mereka berdiskusi tentang objek lukis yang terpajang di dinding ruangan. Bahkan tidak sedikit yang ber-selfie ria mengabadikan karya pelukis asal Italia itu sebagai background foto.
Di salah satu ruangan, ada seorang wanita yang merupakan pengelola sekaligus Direktur Cemara 6 Gallery-Museum, Inda Citraninda Noerhadi yang tengah sibuk menjamu para undangan. Kami beruntung dapat berbincang sebentar dengan wanita kelahiran Amsterdam 58 tahun lalu itu. Inda menjelaskan bahwa lukisan sketsa Andrea yang dipamerkan kali ini sebelumnya telah dipamerkan di pusat kebudayaan Italia (Institute Italiano). “Kami sebenarnya memang tertarik dengan karya-karya sketsa Andrea. Untuk itu kami hadirkan di sini. Seluruh lukisan ini dipersilakan bagi siapapun yang berminat untuk membeli. Soal harga, berkisar antara 200 hingga 600 dolar AS,” ungkap Inda.
Mengenai pengunjung Galeri Cemara 6, Inda mengaku kalau sejauh ini yang datang berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, kolektor, pengajar, dari asosiasi, seniman, bahkan ada juga para pebisnis dari berbagai lembaga termasuk industri asuransi. “Eksekutif asuransi juga banyak yang berkunjung ke sini, ada dari Allianz, Prudential, dan lain sebagainya. Tetapi saya tidak begitu kenal dengan orangnya,” kata puteri dari pendiri Galeri Cemara 6 ini.
Soal menikmati seni lukis ini, Inda menjelaskan bahwa untuk bisa menyenangi lukisan memang melalui proses. Lulusan Master of Arts University of Pittsburg, Pensylvania, Amerika Serikat ini mengisahkan kalau dirinya menyenangi seni lukis bermula saat masih di bangku SMP. Saat itu dia sering diajak sang ibu untuk mengunjungi museum lukisan di Belanda. Dengan mengenal materi-materi yang ada di museum yang didatanginya, lambat laun ia mulai tertarik belajar seni lukis, dan akhirnya pulang ke Indonesia dengan menyelesaikan seratusan karya lukis.
Di dunia lukis Indonesia, Inda sebenarnya bukanlah sosok yang asing lagi. Dirinya pernah menggelar pameran tunggal karyanya di Jakarta beberapa tahun lalu. Terkait keahliannya ini, secara pribadi, Inda juga pernah mengecap pendidikan melukis dari beberapa pelukis tersohor, baik dari dalam maupun luar negeri. Sebut saja sosok yang telah menggembleng Inda dari tanah air seperti Sri Hadhy saat di Den Haag Belanda, Roelijato Soewardjono, dan Danny Suganda. Sedangkan yang berkebangsaan Belanda, Inda juga pernah belajar pada Ruud Venekamp dan Ben Stalk.
Saat ditanya apakah setiap orang mencintai lukisan bisa melukis, Inda menjawab tidak harus, karena para kolektor lukisan itu bisa saja bukan seorang pelukis. Namun, lanjut Inda, menjadi seorang pelukis tentu akan lebih paham bagaimana proses kreatif yang dilalui oleh seorang seniman. “Ibu saya seorang kolektor lukisan, namun beliau tidak bisa melukis. Sedangkan saya beserta saudara kembar dan adik perempuan,
kami bertiga menyenangi lukisan dan kami melukis. Namun yang paling intens itu saya, karena memang berkecimpung di dunia galeri,” tandas Inda.
Cara mencintai dan menyenangi hasil karya seni lukis bagi sebagian orang memang termasuk misteri. Namun dengan menghargai karya seni seseorang, berarti secara tidak langsung telah berbaur dengan kreativitas para seniman. Salah satu bentuk penghargaan itu adalah dengan mengunjungi tempat-tempat galeri atau museum yang memajang karya seni lukis, serta ikut berpartisipasi dalam berbagai pameran lukisan. Cemara 6 Gallery-Museum menjadi salah satu alternatif sebagai tempat kunjungan yang tepat untuk lebih mengetahui cara menikmati seni yang ada dalam setiap lukisan.
Di galeri ini, terdapat sekitar 300 lukisan karya seniman ternama. Hebatnya lagi, di sini ternyata bukan hanya berupa sebuah galeri, tapi ada juga kafe dan homestay, yang saling terintegrasi satu dengan lainnya. Artinya pengunjung tidak harus mencari makanan atau minuman keluar gedung.
Di tengah kesibukan yang ketat, bagi seorang eksekutif – termasuk eksekutif asuransi – dapat berkunjung ke gallery atau museum agar dapat lebih segar dan memperoleh enerji kembali. Tak harus ke luar kota, tapi bisa ke salah satunya di gallery atau museum yang berada pusat kota Jakarta, seperti di kawasan Menteng ini. B. Firman
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News