Selama kaki ini masih menginjak bumi maka kita tidak akan bisa menghindar dari ancaman bencana alam. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 13 jenis bencana alam yang mengancam jiwa dan harta benda kita setiap saat. Ke-13 jenis bencana itu adalah gempa bumi, tsunami, banjir, banjir bandang, tanah longsor, letusan gunungapi, kebakaran hutan & lahan, kekeringan, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem & abrasi, pandemi Covid-19, likuefaksi, dan multibahaya.
Semua jenis bencana tersebut berpotensi merenggut harta benda hingga nyawa manusia. Namun, pepatah yang menyatakan untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak menunjukkan bahwa kita hanya bisa pasrah dalam menghadapi ancaman bencana karena tidak bisa menghindar atau bersembunyi. Yang kita bisa lakukan hanyalah membuat persiapan atau mitigasi risiko agar amit-amit saat bencana itu menerpa, kita atau keluarga kita sudah siap menghadapinya.
Terbaru, publik dihebohkan dengan isu mengenai ancaman megathrust atau istilah awamnya gempa bumi yang sangat besar dengan kekuatan magnitudo bisa mencapai 9,9 skala richter. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa megathrust berpotensi terjadi pada zona megathrust yaitu zona subduksi aktif yang tersebar di 13 wilayah zona megathrust yaitu Sumba, Jawa Timur, Jawa Barat-Jawa Tengah, Selat Sunda, Enggano, Mentawai-Pagai, Mentawai-Siberut, Batu, Nias-Simelue, Aceh-Andaman, Sulawesi Utara, Filipina, dan Papua.
Bahkan khusus zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut rilis gempanya diprediksi tinggal menunggu waktu. Pasalnya, menurut BMKG, kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar, sedangkan segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya semua sudah rilis gempa besar.
Sebagai gambaran, gempa besar di Tunjaman Nankai di Jepang baru terjadi kembali pada 8 Agustus 2024 atau memiliki usia seismic gap 78 tahun dari peristiwa gempa terakhir pada 1946, sedangkan gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 (usia seismic gap 267 tahun) dan gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut terjadi pada 1797 (usia seismic gap 227 tahun). Berarti, usia seismic gap Selat Sunda dan Mentawai-Siberut jauh lebih lama dibandingkan dengan seismic gap Nankai sehingga tidak salah bila alarm peringatan dini dinyalakan agar semua orang menyiapkan mitigasinya.
Sebenarnya, tak lama berselang dari peristiwa gempa di Tunjaman Nankai Jepang, gempa bumi dengan magnitudo 5,8 telah terjadi di wilayah Gunung Kido Daerah Istimewa Yogyakarta pada 26 Agustus 2024. BMKG mengonfirmasi bahwa gempa ini sebagai akibat dari pergerakan lempenglempeng bumi di megathrust daerah Samudera Hindia Selatan Pulau Jawa. Jadi, ancaman gempa megathrust itu nyata dan bukan sekadar isu untuk menimbulkan keresahan atau teror di masyarakat.
Apakah ancaman megathrust yang bikin heboh publik itu lantas membuat masyarakat sadar untuk memiliki asuransi terkait bencana alam? Rasanya sih tidak. Ketakutan terhadap ancaman bencana alam sepertinya tidak berbanding lurus dengan keinginan untuk melakukan upaya-upaya mitigasi risiko. Padahal, publik tahu bahwa asuransi adalah salah satu cara terbaik untuk memitigasi risiko kerugian bencana alam baik finansial maupun kehilangan nyawa. Takut hanya sebatas perasaan yang tak diikuti dengan call to action. Alhasil, begitu tertimpa bencana, ujungnya hanya bisa meratap dan mengandalkan bantuan dari para dermawan.
Terbukti di tengah besarnya ancaman bencana alam di Indonesia, minat masyarakat untuk membeli polis asuransi bencana baik secara khusus (standalone) maupun perluasan manfaat tambahan (rider) masih sangat rendah. Padahal total kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam di Indonesia dapat mencapai Rp20 triliun per tahun.
Dengan ancaman bencana alam yang nyata dan bisa terjadi setiap saat, rasanya kita tidak bisa mengharapkan dari kesadaran masyarakat untuk membeli asuransi bencana alam. Perlu upaya ‘pemaksaan’ dalam bentuk asuransi wajib. Toh, Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk membentuk program asuransi wajib di antaranya mencakup asuransi rumah tinggal terhadap risiko bencana. Lebih baik sedia payung di saat langit mendung, ketimbang basah kuyup karena mengabaikan tanda-tanda semesta.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News