Laporan terbaru Allianz Risk Barometer mencatat bahwa risiko serangan siber masih menjadi risiko yang paling ditakuti oleh perusahaan-perusahaan di dunia pada tahun 2025. Insiden siber yang meliputi pelanggaran data atau serangan ransomware itu dikhawatirkan dapat mengganggu kelangsungan bisnis perusahaan.
Secara global, Allianz Risk Barometer 2025 mengungkapkan sebanyak 11 negara menempatkan risiko serangan siber sebagai risiko teratas. Ke-11 negara itu adalah Australia, Brasil, Kolombia, Prancis, Jerman, India, Italia, Nigeria, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).
Selain risiko insiden siber, dua risiko lain yang menjadi perhatian perusahaan di seluruh dunia adalah gangguan bisnis dan bencana alam. Survei Allianz Risk Barometer 2025 ini dilakukan kepada lebih dari 3.700 profesional manajemen risiko di lebih dari 100 negara.
Secara global, insiden siber menempati peringkat sebagai risiko terpenting selama 4 tahun berturutturut. Insiden siber merupakan bahaya teratas di 20 negara, termasuk Argentina, Prancis, Jerman, India, Afrika Selatan, Inggris, dan AS.
Beberapa insiden siber di Asia Pasifik antara lain serangan terhadap bursa kripto terbesar di India (WazirX), serangan distributed denial-of-service (DDoS) terhadap Japan Airlines, dan serangan siber terhadap firma hukum Singapura (Shook Lin & Bok).
Kepala Underwriting Komersial Allianz, Vanessa Maxwell, mengatakan bahwa pelaku bisnis perlu mengadopsi pendekatan holistik terhadap manajemen risiko dan secara konsisten berupaya meningkatkan ketahanan mereka untuk mengatasi risiko yang berkembang pesat.
“Hal yang menonjol tahun ini adalah interkonektivitas risiko-risiko utama. Perubahan iklim, teknologi baru, regulasi, dan risiko geopolitik semakin saling terkait, sehingga
menghasilkan jaringan sebab dan akibat yang kompleks,” katanya.
Di pihak lain, laporan Marsh Risk Resilience Reportmenyebutkan bahwa setiap bisnis, baik besar maupun kecil, kini dihadapkan pada tantangan untuk mengelola risiko siber secara efektif. Hasil survei menunjukkan hanya 18 persen perusahaan yang siap dalam menghadapi risiko siber. Data dari laporan The State of Cyber ResilienceAsia and Global juga menunjukkan hanya 1 dari 3 responden di Asia (35 persen) mengevaluasi teknologi terhadap risiko siber, hanya ketika serangan siber telah terjadi dibandingkan dengan 17 persen secara global.
Selain itu, 30 persen responden di Asia mengatakan bahwa organisasi mereka saat ini tidak memiliki kesadaran dan pelatihan keamanan siber, meskipun 95 persen pelanggaran siber disebabkan terutama oleh kesalahan manusia (human error).
Risiko Teratas di Asia
Di Asia, gangguan bisnis (business interruption/BI) menempati posisi teratas risiko yang paling dikhawatirkan oleh pelaku bisnis di Asia. Sementara itu serangan siber dan bencana alam menempati posisi kedua dan ketiga. China, Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan adalah negara-negara yang menempatkan BI
sebagai risiko teratas.
BI menjadi perhatian khusus bagi pelaku usaha di Asia karena ekonominya semakin berpartisipasi dalam perdagangan dunia. Asia kini menjadi kawasan perdagangan paling terintegrasi kedua di dunia, didorong oleh pertumbuhan pesat rantai pasokan manufaktur lintas batas.
Direktur Pelaksana Regional Allianz Commercial Asia, Christian Sandric, mengatakan bahwa BI merupakan risiko paling signifikan bagi perusahaan di kawasan Asia. “Dengan latar belakang lanskap risiko yang semakin tidak stabil ini, bisnis harus memastikan bahwa mereka terlindungi secara memadai dan tindakan respons mereka kuat. Ini termasuk mengadopsi tindakan seperti pencegahan kerugian, mengembangkan banyak pemasok, transfer risiko alternatif, dan polis asuransi multinasional,” jelasnya.
Selama dekade terakhir, BI telah menempati peringkat pertama secara global dalam Allianz Risk Barometer. Tetapi mulai tahun 2025 posisinya turun ke peringkat kedua, digantikan oleh risiko serangan siber.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

