Hari Sabtu pagi, 22 Oktober 2016, Balai Sidang Djoko Soetono, Gedung F Lantai 2, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, dipenuhi para insan asuransi. Tampak hadir, antara lain, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Yasril Y Rasyid, Ketua Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) Frans Lamury, Presiden Direktur PT Reasuransi Utama Indonesia Frans Y Sahusilawane. Dan, banyak lagi eksekutif perasuransian yang hadir di kampus UI tersebut.
Kehadiran mereka semua bukan untuk mendengarkan kajian akademis mengenai regulasi asuransi, tapi untuk menghadiri ujian promosi doktor Kornelius Simanjuntak, dengan disertasi berjudul ASURANSI BENCANA ALAM: Studi Tentang Perlunya Skema Asuransi Bencana Alam Untuk MemberikanBantuan dan Ganti Kerugian Bagi Korban Bencana Alam di Indonesia.
Para promotor adalah Prof. Dr. Felix O. Soebagjo (Promotor), Prof. Dr. Rosa Agustina (Ko-Promotor I), dan Andri Gunawan Wibisono, SH, LLM (Ko-Promotor II).
Sedangkan penguji dalam promosi doktor bidang hukum ini adalah Prof. Dr. Satya Arinanto; Prof. Dr. Agus Sardjono; Prof. Dr. Nindyo Pramono, dan Dr. Ratih Lestarini. Ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor bidang hukum pada Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, dipimpin oleh Prof. Dr. Topo Santoso, Dekan Fakultas Hukum UI.
Dalam disertasinya, Kornelius Simanjuntak mengemukakan perlunya asuransi bencana alam di Indonesia. Karena, menurut kajiannya, lokasi Indonesia yang rentan terdampak letusan gunung berapi, gempa, dan tsunami. Salah satu yang disebutkan sebagai contoh bencana alam dan membutuhkan asuransibencana alam, adalah bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada Desember 2004. Dalam pembangunan kembali rumah-rumah penduduk Aceh yang terdampak tsunami tergantung pada bantuan asing.
Ia membandingkan penanganan korban bencana alam tsunami yang terjadi di Jepang pada 11 Maret 2011, yang menghancurkan 1.166.198 rumah, diatasi dengan pembayaran klaim asuransi sebesar Rp125,79 triliun. Dalam 100 hari, perusahaan-perusahaan asuransi di Jepang yang tergabung dalam skema asuransi gempa bumi rumah tinggal telah membayar klaim asuransinya.
Selain Jepang yang mulai menerapkan asuransi bencana pada 1949, menurut Kornelius, ada negara-negara lain yang dikajinya, yaitu Selandia Baru (1944), Perancis (1946), Turki (2000), Taiwan (2002), Meksiko (2006), dan California, USA (1996).
Yang menarik adalah ketika Kornelius mengusulkan agar di Indonesia ada asuransi bencana alam, yang wajib bagi seluruh penduduk di wilayah Indonesia, yang mengasuransikan bangunan rumahnya dari risiko bencana alam. Polis asuransi menjadi salah satu persyaratan memperoleh KPR, yang preminya disesuaikan dengan zona risiko dankualitas konstruksinya.
Kornelius Simanjuntak mengatakan, asuransi bencana alam yang wajib bagi seluruh penduduk Indonesia itu didasarkan pada konsep gotong-royong atau tolong-menolong. Mengenai konsep gotong-royong dalam asuransi bencana alam yang wajib bagi seluruh penduduk, penguji Ratih Lestarini mengingatkan bahwa dalam ilmu antropologi, konsep tolong menolong adalah pranata sosial. “Tapi dalam asuransi, tolong-menolong menjadi pranata ekonomi,” kata Ratih.
Menurut Kornelius, di samping konsep gotong-royong, diperlukan Undang-Undang Asuransi Gempa Bumi untuk mewajibkan seluruh penduduk Indonesia.
Kornelius Simanjuntak memperoleh gelar doktor bidang hukum dengan kelulusan cumlaude dari Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Saat ini ia adalah Presiden Direktur PT Asuransi Himalaya Pelindung, yang juga mengajar di Fakultas Hukum UI. Mucharor Djalil
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News