Media Asuransi, JAKARTA – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai, dari perspektif makroekonomi, Indonesia saat ini terlihat sebagai pasar yang atraktif bagi investor saham. Di sisi lain, The Fed diperkirakan bertahan di level suku bunga tinggi lebih lama (higher for longer) yang akan ‘memaksa’ bank sentral negara lain menahan tingkat suku bunga di level tinggi untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Kebijakan suku bunga The Fed diperkirakan terus menjadi perhatian pasar. Setelah menaikkan suku bunga dari 0,25 persen ke 5,5 persen sejak tahun lalu, kebijakan moneter AS saat ini berada pada level paling restriktif sejak 2009. Tekanan inflasi AS saat ini sudah lebih melandai serta tekanan di sektor tenaga kerja juga mulai mereda. “Selain itu efek tertunda dari akumulasi kenaikan suku bunga akan semakin terasa di ekonomi, sehingga The Fed diperkirakan sudah mencapai puncak dari kenaikan suku bunganya,” kata Senior Portfolio Manager Equity MAMI, Samuel Kesuma, dalam keterangan resmi, Jumat, 15 September 2023.
MAMI juga memandang The Fed akan bertahan di level suku bunga tinggi lebih lama (higher for longer). Data ekonomi AS yang lebih baik dari ekspektasi akan memaksa The Fed untuk tidak buru-buru menurunkan suku bunga, terutama karena pandangan The Fed saat ini bahwa inflasi merupakan risiko lebih besar dibanding risiko pelemahan ekonomi. Potensi turunnya suku bunga The Fed akan mulai terlihat apabila terdapat pelemahan kondisi ekonomi AS.
|Baca juga: MAMI: Atur Kembali Portofolio Investasimu
Menurut Samuel, kondisi ini dapat memberi tantangan bagi kebijakan moneter negara lain, karena posisi suku bunga AS sebagai acuan dunia dapat membatasi ruang gerak bank sentral negara lain dalam mengubah suku bunga, karena ‘terpaksa’ ikut menahan tingkat suku bunga mengikuti posisi The Fed. “Selain itu higher for longer juga dapat memicu apresiasi USD, yang memberi tekanan terhadap mata uang negara lain, yang juga ‘memaksa’ bank sentral lain untuk menahan tingkat suku bunga di level tinggi untuk menjaga stabilitas nilai tukar,” jelasnya.
Selain dari kebijakan moneter, kondisi suku bunga tinggi juga akan mendorong perusahaan untuk lebih bijak dalam mengalokasikan modal. Era suku bunga tinggi akan menyebabkan biaya pendanaan lebih mahal dan mendorong perusahaan untuk mengalokasikan modal dengan lebih efisien dan efektif.
Positifnya, kondisi ini dapat menghasilkan kinerja dan profil laba emiten yang lebih berkualitas karena didorong oleh meningkatnya produktivitas, bukan karena leverage dari utang. Bagi manajer investasi yang melakukan pengelolaan dengan strategi aktif, kondisi ini akan menguntungkan karena analisa mendalam terkait kondisi operasional emiten dapat memberi nilai tambah untuk menghasilkan alpha jangka panjang.
Dia tambahkan dari dalam negeri, MAMI memandang BI masih akan mempertahankan tingkat suku bunga di level saat ini 5,75 persen. BI mengindikasikan bahwa masih terdapat alat kebijakan moneter selain mengubah suku bunga acuan yang dapat digunakan BI untuk menjaga stabilitas rupiah seperti melakukan intervensi valuta asing dan menjaga imbal hasil obligasi di level menarik.
Ke depan, seiring dengan kekuatan ekonomi AS mulai mereda karena efek suku bunga tinggi, maka tekanan penguatan dolar AS diperkirakan akan mereda. “Selain itu kami juga optimistis terhadap perkembangan struktural Indonesia dari pembangunan hilirisasi industri metal Indonesia yang dapat berdampak positif pada kinerja ekspor dan memberi kontribusi devisa untuk membantu menjaga stabilitas rupiah,” kata Samuel Kesuma.
|Baca juga: MAMI: Investasi di Reksa Dana Pendapatan Tetap Masih Menarik
Sementara itu mengenai pasar saham Indonesia bergerak relatif mendatar sepanjang tahun ini. MAMI melihat bahwa sebenarnya dari perspektif makroekonomi, Indonesia terlihat sebagai pasar yang atraktif bagi investor saham. Tahun ini kita melihat inflasi domestik terus melandai, sementara pertumbuhan ekonomi menguat. Ini adalah kondisi unik yang seharusnya ideal bagi pasar saham.
“Dari sisi pertumbuhan laba emiten kami juga melihat kinerjanya baik, sesuai dengan harapan, sehingga bukan menjadi faktor negatif yang membayangi sentimen. Mungkin terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi minat investor domestik seperti ketidakpastian kebijakan suku bunga The Fed, kekhawatiran resesi global, ataupun efek crowding out dari penerbitan SBN ritel yang menyerap likuiditas dari pasar saham,” tuturnya.
Saat ini MAMI melihat valuasi pasar saham Indonesia pada level yang sangat atraktif, berdasarkan PE ratio di level 12x, atau 22 persen lebih rendah dari rata-rata historis. Jadi apabila terdapat pembalikan sentimen di pasar, MAMI melihat potensi upside yang tinggi di pasar saham. Beberapa faktor yang dapat menjadi katalis bagi pasar adalah perubahan postur kebijakan The Fed di mana terdapat indikasi suku bunga tidak naik lagi, selain itu kondisi ekonomi Indonesia yang tetap stabil dapat mengembalikan minat investor domestik terhadap pasar saham.
Di tengah dinamika pasar saat ini, MAMI menyusun portofolio untuk menangkap tema pertumbuhan struktural Indonesia di bidang energi terbarukan dan pemulihan ekonomi Indonesia. Transisi dunia menuju era dekarbonisasi menguntungkan bagi Indonesia yang kaya akan komoditas yang digunakan dalam teknologi energi baru terbarukan seperti nikel, tembaga, dan bauksit.
“Kami melihat terdapat emiten di pasar saham yang memiliki posisi baik untuk kapitalisasi tren ini. Selain itu, secara taktikal kami juga melihat potensi dari sektor yang diuntungkan oleh pemulihan ekonomi Indonesia saat ini seperti di sektor finansial. Perbankan Indonesia dalam posisi yang baik karena rasio kredit bermasalah terus menurun, serta likuiditas masih tinggi,” jelas Senior Portfolio Manager Equity MAMI, Samuel Kesuma.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News