Media Asuransi, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan jika sejumlah inisiatif yang dilakukan oleh regulator jasa keuangan belum berhasil menyehatkan lini bisnis asuransi kesehatan maka bukan tidak mungkin dilakukan pembatasan penjualan produk asuransi kesehatan di Tanah Air.
Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila menyebutkan OJK telah melakukan berbagai macam upaya agar asuransi kesehatan di Indonesia bisa terus tumbuh dan dalam kondisi yang sehat. Namun tak ditampik, ada sejumlah tantangan yang menghadang yang di antaranya adalah lonjakan inflasi medis.
“Bagaimana kita menyehatkan asuransi kesehatan. Kita tidak sendiri di mana tren inflasi medis itu jauh di atas inflasi umum. (Persoalan inflasi medis) bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia,” kata Iwan, dalam Webinar Asuransi Kesehatan 2024 bertajuk ‘Mencari Cara Menyehatkan Asuransi Kesehatan‘, yang digelar Media Asuransi, Selasa, 21 Mei 2024.
Tantangan lainnya yakni rasio antara klaim dan premi di asuransi kesehatan terbilang tinggi sekarang ini baik yang ada di industri asuransi umum maupun jiwa di Indonesia. Apalagi, jika mengacu pada data yang dipaparkan oleh Iwan disebutkan bahwa rasio antara klaim dan premi di 2023 untuk asuransi kesehatan di industri asuransi jiwa sudah sudah mencapai 98 persen.
|Baca juga: Jadwal Operasional BCA Selama Libur dan Cuti Bersama Hari Raya Waisak 2024
“Di 2023, klaim asuransi kesehatan di asuransi jiwa di data kami Rp19,14 triliun. Tapi kalau kita lihat laporan saja total klaim itu dicatat sekitar Rp20,8 triliun. Jadi sebenarnya di asuransi jiwa ini sudah lebih dari 100 persen dan kita belum bicara alokasi biaya untuk komisi dan variabel yang lain,” tuturnya.
“Sekali lagi preminya adalah premi gross jadi kita belum mengeluarkan untuk komisi. Jadi bisa dilihat bahwa sebenarnya ini tren yang cukup mengkhawatirkan dan kita perlu mengambil langkah-langkah. Nah sayangnya memang langkah-langkahnya ini tidak semudah kita mengatur,” tambahnya.
Iwan menambahkan pihaknya telah melakukan berbagai macam upaya guna menyehatkan produk asuransi kesehatan di Indonesia. Di perusahaan asuransi, misalnya, mendorong agar melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk hidup sehat; koneksi host to hosts dengan SIM RS; dan melakukan utilization review secara berkala.
|Baca juga: Sampaikan RAPBN 2025, Sri Mulyani Ramal Ekonomi RI Tumbuh 5,5%
Kemudian, melakukan pemanfaatan teknologi digital-TPA, resume medis nasabah, FKTP digital, dan akses ke telemedicine; dan mendorong pembentukan medical advisory board. Selain itu, OJK juga sudah melakukan kerja sama dengan Kementerian Kesehatan.
Kerja sama yang terjalin yakni perbaikan regulasi untuk COB, FKTP digital, dan telemedicine; akses terhadap Satu Sehat; dan dukungan kepada utilization review dan implementasinya. Sedangkan dengan asosiasi asuransi, OJK mendorong pemanfaatan TPA bersama; dan mengembangkan database untuk kumpulan dan individu.
Pembatasan produk
“Tapi kalau memang ini semua (inisiatif yang dilakukan) tidak memberikan nilai yang efektif memang kita juga bisa berpikir bahwa pembatasan produk ini (asuransi kesehatan) bisa kita lakukan,” tegas Iwan.
|Baca juga: Tokio Marine Catat Laba Bisnis Internasional Melesat 99,8% di 2023
Menurutnya opsi pembatasan bisa dilakukan jika inisiatif yang dibeberkan tidak memberikan hasil baik. “Jadi kami sangat berharap bahwa inisiatif yang lain ini bisa memberikan hasil tapi opsi ini (pembatasan) juga mungkin perlu kita mulai pertimbangkan,” tukas Iwan.
“Supaya memastikan bahwa memang para pelaku yang ada di ekosistem ini memang bisa memberikan layanan yang baik, memberikan kesehatan, dan ujungnya akan memberikan kontribusi positif,” ucapnya.
Bidang Teknik dan Produk Forum Asuransi Kesehatan Indonesia M Reza Putra menambahkan alasan produk asuransi kesehatan tidak sehat bisa ditinjau dari dua aspek yakni eksternal problem dan internal problem. Terkait internal problem dijelaskan seperti persaingan usaha yang membuat klaim asuransi juga mengalami kenaikan.
Untuk eksternal problem, lanjutnya, pandemi covid-19 menjadi biang keroknya. Di awal pandemi, kunjungan pasien ke rumah sakit mengalami penurunan termasuk ke asuransi. Namun, setelah tiga bulan di awal pandemi, kunjungan pasien mengalami kenaikan.
“Jadi mungkin tertahan pandemi. Pandemi membatasi pergerakan orang untuk ke rumah sakit atau ke fasilitas kesehatan. Setelah, beres eh ada kenaikan kunjungan baik di domestik maupun di luar negeri. Jadi memang persoalannya ada di eksternal dan internal problem,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News