1
1

Prinsip Utmost Good Faith Pandangan Islam

Penulis adalah Wakil Manager Takaful Institute, PT Asuransi Takaful Umum. | Foto: Fajar Nindyo

Oleh: Fajar Nindyo

 

Prinsip Utmost Good Faith

Dalam buku berjudul “Insurance, legal and regulatory” karya David Ransom FCII Chartered Insurance Practitioner (2011) disebutkan bahwa Utmost Good Faith didefinisikan sebagai “a positive duty voluntarily to disclose, accurately and fully, all facts material to the risk being proposed, whether requested or not”. Pengertian yang sama dituliskan Neil A Roff, B. Juris (U.P.E), FIISA, ACII dalam bukunya “Insurance underwriting process” (2011) pada pembahasan Material Facts. Dalam terjemahan bebas, definisi Utmost Good Faith (Itikad Terbaik) ini dapat dijabarkan sebagai “suatu tindakan positif untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta material mengenai sesuatu yang diasuransikan, baik diminta ataupun tidak”.

Pentingnya pelaksanaan prinsip Utmost Good Faith dijelaskan dalam buku “Prinsip-Prinsip dan Praktek Asuransi” oleh Nico Lukum, ACII (1996) yang menyatakan bahwa dalam hal perjanjian atau kontrak asuransi, keputusan pihak penanggung untuk menerima atau menanggung risiko yang diajukan oleh tertanggung (demikian juga keputusan penanggung dalam hal suku premi dan syarat-syarat pertanggungan atas risiko tersebut) sangat bergantung pada fakta-fakta penting tentang risiko tersebut, padahal pihak yang paling mengetahui semua fakta penting itu adalah tertanggung. Pihak penanggung dapat saja melakukan survei langsung terhadap risiko bersangkutan akan tetapi dia harus percaya pada keterangan-keterangan yang diberikan oleh tertanggung untuk menjadi dasar bagi penanggung dalam menilai risiko terutama risiko-risiko yang tidak tampak jelas pada waktu berlangsungnya survei. Oleh sebab itu, khususnya dalam kontrak atau perjanjian asuransi berlaku prinsip atau asas itikad terbaik (the principle of utmost good faith) atau yang disebut juga sebagai prinsip Uberrimae Fides. Kata “Uberrimae Fides” ini juga ditemukan dalam buku “Insurance underwriting process” yang menyatakan, “It is because of this that the principle of caveat emptor does not apply in an insurance contract. In its place is duty of the utmost good faith (known in Latin terms as uberrimae fides)”.

Meskipun dalam penjabaran di atas, kewajiban pelaksanaan prinsip Utmost Good Faith ditekankan di sisi tertanggung, sesungguhnya prinsip ini juga berlaku bagi pihak penanggung. Hal ini ditegaskan oleh David Ransom yang menyatakan, “The principle applies equally to both the proposer and the insurer throughout the contract negotiations”. Artinya, kewajiban mengungkapkan fakta tidak hanya berlaku bagi tertanggung namun juga penanggung. Hal ini juga ditegaskan dalam Marine Insurance Act (MIA) 1906 Section 17, “A contract of marine insurance is a contract based upon the utmost good faith, and, if the utmost good faith be not observed by either party, the contract may be avoided by the other party.” Sedangkan dalam versi Insurance Act (IA) 2015 Part 5 Section 14 disebutkan, “Any rule of law permitting a party to a contract of insurance to avoid the contract on the ground that the utmost good faith has not been observed by the other party is abolished”.

Penekanan kewajiban pemenuhan prinsip Utmost Good Faith pada sisi tertanggung dan penanggung juga dijelaskan oleh Dr H Desmadi Saharuddin Lc MA, dalam bukunya yang berjudul “Pembayaran Ganti Rugi pada Asuransi Syariah” (2015). Dia menjelaskan, “Seharusnya perusahaan asuransi adalah pihak pertama yang harus memberikan contoh dan teladan kepada tertanggung dalam penerapan asas ini. Oleh karena itu, perusahaan tidak hanya menuntut dari para tertanggung agar melakukannya dengan baik. Perusahaan asuransi berkewajiban untuk menjelaskan semua risiko yang dijamin maupun yang tidak dijamin kepada tertanggung serta segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas serta teliti. Begitu juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan hak ataupun kewajiban serta apa saja akibatnya apabila mereka melanggar ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam polis, semuanya harus dijelaskan dengan baik”.

Prinsip Utmost Good Faith dalam Pandangan Islam

Dalam kaitannya dengan prinsip Utmost Good Faith, dalam hukum Islam juga dikenal adanya larangan melakukan penipuan dalam setiap transaksi muamalah. Sejumlah ahli hukum Islam menganalogikan gharar sebagai salah satu jenis jual beli yang dilarang (meskipun dalam konteks pembahasan prinsip Utmost Good Faith ini lebih relevan digunakan istilah jahalah daripada gharar) karena gharar berkaitan dengan aspek ketidakpastian (uncertainty) maka jahalah berkaitan dengan aspek pengabaian terhadap unsur kejujuran. Hal ini antara lain dijelaskan oleh Nehad A dan A Khanfar dalam artikelnya yang berjudul “A Critical Analysis of the Concept of Gharar in Islamic Financial Contracts: Different Perspective”.

Mereka mengutip pernyataan Al-Sanhuri yang mendefinisikan jahalah sebagai kurangnya pengetahuan (lack of knowledge) yang berimplikasi pada adanya titik perbedaan antara gharar dan jahalah. Gharar terjadi pada saat jual beli, yakni objeknya tidak jelas keberadaannya, sedangkan jahalah terjadi jual beli yang objeknya ada namun dengan kuantitas yang tidak jelas. Atau dengan kata lain, pada gharar, subject matter of contract-nya tidak ada. Sedangkan pada jahalah, subject matter of contract-nya ada, hanya saja terdapat ketidakjelasan yang berkaitan atau berhubungan dengan elemen-elemen atau isi perjanjian kontrak.

Al-Sanhuri menambahkan bahwa masih banyak ahli hukum yang belum dapat membedakan terminologi gharar dan jahalah, karena dianggap keduanya sama dan menggunakannya secara saling menggantikan.

Saleh (1986, sebagaimana dikutip oleh Hasanuzzaman) menyatakan bahwa gharar merujuk pada sifat dari sebuah kontrak sedangkan jahalah merujuk pada adanya deskripsi atau penjelasan isi kontrak yang kurang lengkap. Dia juga menambahkan bahwa suatu kontrak yang melibatkan jahalah maka kontrak itu menjadi dapat dibatalkan atau tidak berlaku (voidable) namun jika kontrak itu melibatkan gharar akan tetap berlaku (void). Dalam kasus gharar, semua pihak yang berkontrak akan terkena dampaknya, namun dalam kasus jahalah, hanya satu pihak yang akan terkena dampaknya. Maka berdasarkan penjelasan di atas, antara gharar dan jahalah merupakan dua hal yang berbeda.

Secara keseluruhan, prinsip Utmost Good Faith dalam teori dasar asuransi memiliki kompatibilitas dengan ajaran Islam, yakni tidak boleh ada unsur penipuan dengan melakukan penyembunyian atas kekurangan pada barang atau objek yang akan diasuransikan. Sedangkan di sisi penanggung atau pengelola, tidak boleh ada penyembunyian atas ketentuan-ketentuan tertentu yang dapat merugikan pihak tertanggung atau peserta, yaitu dimulai dari bentuk penawaran (quotation slip) yang transparan (tidak ada unsur tertentu yang disembunyikan yang dapat merugikan calon peserta), sampai pada polis asuransi yang isinya sama dengan penawaran yang telah disetujui tertanggung atau peserta, terutama pada terms and conditions yang dapat mengurangi hak tertanggung atau peserta saat mengajukan klaim.

 

Penulis adalah Wakil Manager Takaful Institute, PT Asuransi Takaful Umum

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Gen Z Jadi Target Baru Asuransi di Asia Pasifik, Begini Strategi Menggaetnya!
Next Post Tutup Nataru, Hutama Karya Catat 2,2 Juta Kendaraan Melintas di Tol Trans Sumatra

Member Login

or