Oleh: Budi Sartono Soetiardjo
Prinsip asuransi itikad baik (Utmost Good Faith/UGF) selalu menjadi isu aktual di setiap kali terjadi kasus gagal bayar, atau penolakan klaim oleh perusahaan asuransi. Itikad baik harus berlaku general bagi semua pihak yang ada di dalam ekosistem asuransi, dan tak boleh diskriminatif.
Melalui Amar putusan Nomor 83/PUU-XII/2024 Mahkamah Konstitusi menetapkan pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat, dan menjadi indikasi bahwa prinsip itikad baik (UGF) ternyata berpotensi disalahgunakan, bersifat subyektif, bahkan diskriminatif, yang dapat dimanfaatkan secara sepihak oleh perusahaan asuransi untuk menolak klaim yang diajukan tertanggung.
SPPA (Surat Permintaan Penutupan Asuransi) yang disebut sebagai bagian tak terpisahkan dari perjanjian asuransi, semestinya berkekuatan hukum setara dengan polis asuransi dengan segala konsekuensinya. Pengungkapan data dan fakta oleh tertanggung melalui pengisian SPPA, dapat subyektif apabila tidak dibarengi dengan upaya pihak penanggung untuk melakukan cross check terhadap berbagai informasi yang disampaikan atau diungkapkan tertanggung.
Di sinilah pentingnya survei risiko oleh pihak penanggung, sebagai bagian dari tanggung jawab hukum perusahaan asuransi dalam menerima pelimpahan atau pengalihan risiko (transfer of risk).
SPPA semestinya menjadi subyek hukum dari perjanjian asuransi, bukan sekedar pelengkap untuk memenuhi syarat kontrak asuransi. Di dalam SPPA ada kewajiban pihak tertanggung untuk menyampaikan berbagai hal yang terkait dengan obyek pertanggungan miliknya (insurable interest), seperti jumlah nilai pertanggungan, okupasi, luas jaminan, dan hal-hal lain yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap obyek pertanggungan, termasuk apabila di dalam perjalanan masa asuransi, terjadi perubahan-perubahan.
Di sisi lain, perusahaan asuransi sebagai penanggung risiko wajib menyampaikan berbagai informasi penting kepada tertanggung sesegera mungkin apabila ada perubahan terms & conditions polis. Trutama menjelang polis berakhir atau jatuh tempo, seperti informasi tentang perubahan tarif premi, perubahan persentase potongan klaim (deductible), pembatasan luas jaminan, bahkan bila ada satu atau pertimbangan lain, polis asuransi tak dapat diperpanjang lagi.
Untuk itu, hal-hal semacam ini harus dikomunikasikan setransparan dan sesegera mungkin guna menghindari dispute (perselisihan) atau kesalahpahaman di antara kedua pihak saat terjadi klaim.
Pasal 251 KUHD yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 memunculkan konsekuensi hukum logis, yakni tak bisa digunakan lagi sebagai referensi perjanjian asuransi. Menurut hemat, sudah tiba saatnya prinsip itikad baik (UGF) yang bersifat kualitatif, dioperasionalkan dengan menyusun semacam road map (peta jalan) perjanjian yang terukur, untuk meminimalkan munculnya subyektivitas di dalam mengartikulasikan prinsip Utmost Good Faith, agar tak muncul lagi istilah “Ada Dusta Di antara Kita”.
Asuransi adalah bisnis yang berbasis trust, saling percaya antara dua pihak, yakni penanggung dan tertanggung, dalam konteks pengalihan satu atau sejumlah risiko yang reasonable & accountable baik dari sisi hukum, keuangan, atau ekonomi.
Salam,
Penulis adalah Pemerhati Publik dan Asuransi
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News