Oleh: Budi Sartono Soetiardjo
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83 Tahun 2024 yang menggugurkan pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), membuka peluang langsung atau tidak langsung, memperbesar potensi terjadinya fraud atau kejahatan dalam transaksi asuransi.
Putusan MK telah membuat lega serta memberi angin segar bagi tertanggung atau pemegang polis atau pihak lain, dalam proses pengajuan klaim di perusahaan asuransi. Di sisi lain, putusan MK Nomor 83/2024 menjadi simalakama bagi perusahaan asuransi.
Atas dasar pertimbangan tuntutan rasa keadilan dan persamaan hak di depan hukum, maka pasca terbitnya putusan MK tersebut, tertanggung memiliki kesempatan luas, harapan besar dan kepastian untuk mendapatkan ganti rugi atau santunan atas klaim yang diajukan.
Diksi claimable dan unclaimable atas suatu klaim, bagi perusahaan asuransi tidak signifikan lagi untuk menjadi filter guna menentukan layak/tidaknya suatu klaim dibayar. Mengingat putusan MK Nomor 83/2024 mengamanatkan adanya proses hukum di pengadilan terlebih dahulu sebelum klaim diputuskan diterima atau ditolak.
Satu hal yang patut diwaspadai penanggung adalah potensi munculnya fraud atau kecurangan atau kejahatan, yang bisa jadi tak hanya dilakukan oleh tertanggung, tapi juga pihak lain yang ingin mengambil keuntungan dari klaim asuransi.
Fraud yang bersumber dari niat buruk (Utmost Bad Faith), dalam teori “Fraud Triangle”, yang diperkenalkan oleh kriminolog Donald R Cressey, dapat timbul karena adanya tiga sebab. Pertama, adanya tekanan (pressure) yang mendorong munculnya motivasi. Kedua, munculnya peluang atau kesempatan (opportunity). Ketiga, upaya pembenaran (rationalization).
Tekanan (pressure), dapat mendorong munculnya niat buruk (bad faith) tertanggung. Di antaranya adalah ketika tertanggung sedang mengalami masalah besar dengan dengan keuangannya. Misalnya tertanggung terlilit kredit macet, terjadinya konflik di internal perusahaan (umumnya di perusahaan keluarga), dan perusahaan sedang sekarat atau menuju bangkrut.
Fraud dapat berwujud dalam bentuk tindakan non disclosure atau menyembunyikan data dan fakta yang sebenarnya dan misrepresentation atau memberi keterangan/informasi tidak benar atau palsu.
Peluang atau kesempatan tertanggung melakukan fraud dapat timbul karena ketidak telitian, ketidak cermatan, adanya unsur kelalaian, keteledoran, maupun pengabaian pihak penanggung dalam melakukan assessment maupun analisis risiko terhadap obyek pertanggungan yang akan diasuransikan.
Pembenaran (rationalization) dilakukan tertanggung untuk membela diri, sebagai upaya untuk melakukan pembenaran terhadap tuntutan klaim yang diajukan. Yakni dengan cara beradu argumen, dalih maupun alasan, melalui gugatan di pengadilan, yang pada umumnya dilakukan dengan menggunakan jasa penasehat hukum, advokat atau pengacara.
Salam,
Penulis adalah Pemerhati Publik & Asuransi
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News