Media Asuransi, JAKARTA — Implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinilai menjadi langkah penting untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang setara bagi seluruh peserta.
Wakil Ketua I Perhimpunan Dokter Pembiayaan Jaminan Sosial dan Perasuransian Indonesia (PP Perdokjasi) Emira E Oepangat menilai regulasi mengenai KRIS telah tertuang sejak lama, namun penerapannya masih tertunda selama lebih dari dua dekade.
“Kalau dilihat regulasi itu, sebetulnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN itu sudah menyatakan kelas pelayanan yang diberikan oleh jaminan sosial adalah kelas standar,” ujar Emira, dalam webinar ‘Win-win Solution di Kala Inflasi Medis Menanjak‘, Selasa, 6 Mei 2025.
|Baca juga: AAUI Siapkan Langkah Perbaikan Menyeluruh untuk Tekan Beban Klaim Asuransi Kesehatan
|Baca juga: Penyakit Katastropik di Indonesia Melonjak, Asuransi Kesehatan Wajib Lakukan Penyesuaian!
Ia menyebut selama 21 tahun sejak undang-undang tersebut diberlakukan, kelas standar belum juga diterapkan secara menyeluruh. Menurutnya, pada masa transisi, BPJS masih menggunakan sistem kelas 1, 2, dan 3 agar lebih mudah menyesuaikan infrastruktur dan sistem yang ada. Namun, kelas standar tetap menjadi tujuan akhir dari skema jaminan sosial.
Emira menilai penerapan kelas standar ini bukan tanpa tantangan. Banyak rumah sakit mengeluhkan pengaturan detail seperti jarak antar tempat tidur, AC, hingga fasilitas kamar mandi. “Mungkin untuk rumah sakit-rumah sakit ini agak jadi momok, kok sampai tempat tidurnya diatur, AC-nya diatur, WC-nya diatur, lampunya diatur,” ujarnya.
Padahal, semua ketentuan tersebut telah diatur dalam PP Nomor 64 Tahun 2020 yang menyebutkan penerapan kelas standar seharusnya terlaksana paling lambat di 2022. Namun, implementasi baru dijadwalkan pada Juli 2025.
Di sisi lain, Emira menekankan pentingnya data sebagai fondasi kebijakan yang tepat. Menurutnya, integrasi data melalui platform ‘Satu Sehat’ menjadi salah satu solusi untuk memastikan mutu pelayanan kesehatan tetap terjaga.
“Availability data in one health itu penting. Kenapa kita tidak takut sama Tokopedia, Shopee, TikTok, tapi kita takut dengan platform data kesehatan?” ujarnya.
|Baca juga: Asuransi Kecelakaan dan Kesehatan RI Diramal Meroket 13,4% hingga 2029, Apa Pendorongnya?
|Baca juga: Klaim Asuransi Kesehatan Tinggi, IFG Progress: Tidak Sehat bagi Industri!
Ia mempertanyakan sikap masyarakat yang lebih khawatir soal privasi data kesehatan dibandingkan dengan data pribadi yang diserahkan ke layanan e-commerce atau ojek daring. Oleh karena itu, dirinya mendorong adanya edukasi serta sistem persetujuan atau informed consent yang jelas bagi masyarakat.
Untuk mendukung ekosistem pembiayaan kesehatan, Emira menyebut, institusi seperti asuransi perlu dilengkapi dengan analisis kepesertaan dan sistem informasi yang memadai. Jika tidak mampu mengembangkan sendiri, mereka disarankan bermitra dengan pihak ketiga seperti TPA.
“Kalau sebuah perusahaan asuransi tidak bisa melakukan analisis kepesertaan, ya harus bagaimana? Mungkin perannya bisa diisi oleh TPA,” jelasnya seraya berharap seluruh pihak bisa bekerja sama untuk memperbaiki sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya dengan menurunkan rasio klaim dan meningkatkan transparansi layanan.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

