Media Asuransi, JAKARTA – Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono, menyampaikan ada tiga tantangan struktural sektor perasuransian dari berbagai perspektif.
Ogi menyebutkan tantangan pertama adalah dari perspektif konsumen. Yakni tentang literasi dan inklusi terkait produk atau layanan sektor perasuransian, penjaminan, dan dana pensiun yang masih (PPDP) rendah.
Kemudian masih adanya berbagai pengaduan dan kasus di sektor PPDP, termasuk gugatan dan kasus hukum di sektor PPDP yang menggerus tingkat kepercayaan masyarakat. Selanjutnya adalah kompleksitas produk di sektor PPDP yang sangat beragam sering kali sulit dipahami oleh masyarakat.
|Baca juga: Hari Asuransi 2024, DAI Gelar Literasi dan Inklusi Asuransi di 17 Titik di 11 Daerah
Menurut Ogi, ada masyarakat yang tidak tahu bahwa problem asuransi, seperti unitlink, ada porsi untuk investasi. Memang risiko dari produk tersebut adalah risiko dari pemegang polis, bukan risiko perusahaan asuransi. Tidak seperti program asuransi lainnya, perusahaan asuransi itu berjanji memberikan return tertentu, itu baru kewajibannya perusahaan asuransi.
“Namun, untuk unitlink, penurunan risiko investasi itu tanggung jawab pemegang polis. Pertanyaannya, apakah para pemegang polis yang membeli produk unitlink itu paham,” ungkapnya dalam acara Hari Asuransi, Jumat, 19 Oktober 2024.
Tantangan untuk perspektif industri, Ogi mengemukakan ada lima hal, yakni tentang penetrasi dan densitas di sektor PPDP masih rendah, kemudian kebijakan peningkatan permodalan untuk konsolidasi dan penguatan industri. Selain itu kebutuhan tenaga expert seperti aktuaria, investasi, dan IT. Selain itu ada tentang digitalisasi kegiatan usaha PPDP belum optimal untuk meningkatkan akses konsumen. Dan terakhir tentang perlunya penguatan ekosistem sektor PPDP, seperti keberadaan penjaminan ulang dan program penjaminan polis.
|Baca juga: Era Anak Muda Melek Asuransi Tradisional dan Unitlink
Ogi menyampaikan industri asuransi tidak terlepas dari digitalisasi. Oleh karena itu, perusahaan asuransi mau tidak mau harus memiliki layanan digital atau nanti ada perusahaan teknologi yang ingin masuk ke dalam industri perusahaan asuransi. Sebab, dengan teknologi, perusahaan bisa menawarkan berbagai produk asuransi. “Kalau tidak siap, akan terjadi persaingan yang akan memengaruhi kelanjutan bisnis di asuransi,” ungkapnya.
Dia menerangkan perlunya penguatan ekosistem perusahaan asuransi, mulai dari pialang, aktuaria, sampai perusahaan reasuransi. Ogi juga menyoroti reasuransi di Indonesia yang kapasitas dan kompetensinya masih rendah.
|Baca juga: ‘Jalan Tol’ Penerbitan Produk Asuransi
Adapun ketiga, tantangan dari perspektif OJK/makro, seperti alokasi sumber daya pengawasaan secara efektif dan efisien serta dukungan infrastruktur yang memadai. Kemudian, implementasi UU P2SK, contohnya spin off unit syariah asuransi di 2026, penerapan program penjaminan polis di 2028, dan konsep program asuransi wajib.
Selanjutnya, kesesuaian kerangka pengaturan dan pengawasan dengan standar internasional (seperti penerapan PSAK 117), serta dukungan dari stakeholder di luar OJK (kementerian/lembaga terkait).
Ogi mengatakan adanya penerapan PSAK 117 mengenai kontrak asuransi akan berdampak signifikan terhadap industri asuransi karena akan membuat industri perasuransian lebih sehat. Sebab, penerapannya akan diimplementasikan dari mulai penerimaan premi hingga pencadangan teknis.
Hal itu tentu akan mengubah perilaku industri perasuransian. “Oleh karena itu, perlu dukungan dari stakeholder di luar OJK, karena tak bisa dipungkiri ekosistem industri asuransi melibatkan beberapa pihak,” paparnya.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News