1
1

Pinjol Ilegal Merusak Citra Industri Fintech

Media Asuransi, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai bahwa munculnya fenomena pinjaman online ilegal di tengah-tengah berbagai capaian serta kontribusi industri fintech P2P legal di Indonesia, cukup meresahkan. Akibat dari banyaknya pemain pinjol ilegal ini, citra industri fintech tentu cukup terganggu.

Padahal dengan segala keunggulan fintech lending, industri ini sebetulnya sangat potensial membantu masyarakat kita dalam memenuhi kebutuhan finansialnya secara cepat dan menjangkau seluruh pihak.

“Jika diibaratkan, mungkin seperti kata pepatah: Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga,” kata Kepala Eksekutif Pengawas IKNB Otoritas Jasa Keuangan, Riswinandi, dalam webinar Pemberantasan Pinjaman Online Ilegal di Jakarta, 9 November 2021.

Menurut dia, fintech peer to peer atau yang lebih dikenal sebagai istilah pinjol sejatinya merupakan salah satu jenis industri keuangan yang memiliki peran yang cukup vital terutama dalam meningkatkan inklusi keuangan serta menjangkau masyarakat-masyarakat yang unbankable atau belum memiliki akses kepada perbankan.

Riswinandi menuturkan bahwa fintech P2P juga menjadi salah satu kunci dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional melalui pembiayaan ke berbagai sektor. Terlebih dalam kondisi yang mengharuskan kita untuk membatasi mobilitas sebagai bagian mengurangi penularan Covid-19 ini, Fintech hadir dengan segala kemudahan dan juga kepraktisan dalam mendapatkan akses pembiayaan.

|Baca juga: Satgas Waspada Investasi Tutup 116 Pinjol Ilegal

“Jika diibaratkan, fintech merupakan sebuah jembatan penghubung antara para pihak sebagai lender dengan para masyarakat luas sebagai borrower untuk membantu mengurai rantai distribusi ekonomi yang panjang serta memperbesar akses layanan keuangan kepada masyarakat, terutama sektor informal produktif atau UMKM.

Pembiayaan kepada sektor produktif ini setidaknya terlihat dari statistik penyaluran pembiayaan kepada sektor produktif. Sampai dengan Oktober 2021, akumulasi penyaluran di sektor produktif ini telah mencapai Rp114,76 Triliun atau mencapai 43,65 persen dari akumulasi penyaluran pembiayaan secara total.

“Hal ini memperlihatkan bahwa, peran fintech untuk sektor produktif seperti UMKM memiliki potensi yang sangat besar. Selain itu, kami melihat bahwa fintech start up lokal kita cukup prospektif dan memiliki peluang melakukan penetrasi ke pasar regional, setidaknya di negara-negara ASEAN. Hal ini telah terlihat dengan adanya fintech P2P kita yang masuk ke negara tetangga seperti Thailand dan Filipina,” kata Riswinandi.

Dia tambahkan, tentu hal ini membuktikan bahwa fintech P2P kita, memiliki keunggulan dan daya saing yang sangat baik. Terutama karena dalam operasionalnya, P2P lending mampu melakukan akuisisi pelanggan secara cepat, tanpa tatap muka atau online, dan mampu melakukan asesmen risiko dengan dukungan teknologi mesin cerdas buatan atau artificial intelligence.

Harus kita akui memang bahwa literasi keuangan masayarakat di Indonesia masih rendah yakni sebesar 38,03 persen atau setengah dari indeks inklusi keuangan sebesar 76,19 persen. Jadi dengan kata lain, setengah dari masyarakat kita yang memiliki akses kepada produk keuangan belum paham mengenai produk keuangannya itu sendiri.

Akibatnya, banyak sebagian dari masyarakat tersebut masuk ke dalam jebakan pinjol illegal dan harus menanggung beban, bahkan mendapat perlakuan yang mengarah kepada tindakan pidana.

Oleh karena itu, menurut Riswinandi, sangat penting mengedukasi masyarakat untuk selalu dapat membedakan mana fintech legal dan pinjaman online ilegal. Sebagai tindakan preventif, OJK sudah melakukan berbagai kegiatan termasuk sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai kanal; social media, webinar, kuliah umum baik dilakukan oleh Edukasi Perlindungan Konsumen, Satgas Waspada Investasi maupun dari satker pengawas.

“OJK juga memiliki kanal komunikasi baik melalui WA, email, ataupun telepon bagi warga yang ingin melakukan pengaduan ataupun bertanya terkait fintech P2P lending. Selain itu, secara bekala OJK juga melakukan upgrading list atau daftar pinjaman online yang terdaftar di OJK baik melalui website maupun kanal sosial media lainnya. Agar masyarakat bisa senantiasa mengetahui mengenai daftar fintech legal yang terdaftar di OJK,” jelas Riswinandi.

Di sisi lain, menurutnya, pinjol ilegal ini merupakan PR bersama yang perlahan tapi pasti terus ditertibkan. “Setidaknya sejak tahun 2018 sampai dengan sekarang, sudah lebih dari 3.631 pinjol ilegal sudah berhasil ditindak,” tegasnya.

Di sisi kami, sistem pengawasan di internal OJK juga sedang di-upgrade menggunakan pendekatan supervisory technology dengan pembangunan Pusat Data Fintech Lending (PUSDAFIL). Progress-nya saat ini sudah sekitar 102 perusahaan yg terkoneksi atau terintegrasi ke PUSDAFIL dan tentunya integrasi ini masih terus berjalan.

|Baca juga: AFPI, AFTECH, dan KADIN Dukung Polri Tindak Tegas Pinjol Ilegal

Nantinya transaksi seluruh Fintech P2P dapat dimonitor dan diawasi secara langsung oleh OJK, baik itu pengawasan terhadap limit pinjaman, monitor TKB90 (Tingkat Keberhasilan 90 hari), kepatuhan wilayah penyaluran pinjaman, dan lain-lain. “Diharapkan dengan hadirnya sistem pengawasan ini nantinya dapat semakin memperkuat pengawasan fintech P2P legal yang berizin dari OJK,” kata Riswinandi.

Di sisi lain langkah moratorium yang dilaksanakan OJK telah memperlihatkan hasil yang sangat baik dalam rangka menyaring perusahaan fintech P2P yang siap menjalankan bisnisnya. Mengingat tugas OJK adalah untuk memastikan agar fintech yang terdaftar ini memiliki reputasi yang baik, didukung oleh pengelola yag professional serta memang memiliki kemampuan yang mencukupi dalam hal mengelola bisnis fintech P2P.

Pada awal moratorium Fintech, bulan Februari 2020, ada sekitar 161 perusahaan yang terdaftar dan berizin di OJK. Namun demikian, sampai dengan saat ini tercatat total ada 104 perusahaan dengan rincian 3 fintech P2P yang statusnya terdaftar di OJK serta 101 yang telah memiliki status berizin.

“OJK juga saat ini sedang melakukan review sekaligus pembaharuan pada POJK 77/2016 mengenai Fintech P2P Lending. Beberapa hal yang nantinya akan kami sesuaikan dan perbaiki tentunya mengikuti perkembangan industri Fintech P2P dalam beberapa tahun terakhir, keluhan dari konsumen, serta mengakomodasi arah pertumbuhan industri ke depan. Terutama terkait ketentuan permodalan, governance, manajemen risiko, perizinan dan kelembagaan, kualitas pendanaan, transparansi serta perlindungan konsumen,” jelas Riswinandi.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Tiba-Tiba Kaesang Pangarep Beli Saham PMMP, Bakal Prospektif?
Next Post MARKET BRIEF: Investor Profit Taking, Indeks S&P Ditutup Melemah

Member Login

or