1
1

Sehari di Cirebon Menikmati Wisata Budaya

Ada banyak cara untuk menyongsong aktivitas baru di tahun baru. Salah satunya dengan mengajak keluarga ataupun teman sejawat untuk mengadakan traveling ke suatu tempat yang akan menggenjot semangat, dalam rangka menghadapi serangkaian kesibukan yang akan menjadi planing utama di tahun 2017 ini. Kali ini, Media Asuransi mengajak pembaca untuk menikmati perjalanan ke beberapa destinasi di Kota Cirebon dan sekitarnya, sebagai referensi untuk mengawali langkah di awal tahun.

Bagi yang akan memulai perjalanan dari Jakarta menuju Kota Cirebon, disarankan berangkat untuk disegerakan, sekitar jam 07.00 WIB adalah waktu yang pas, mengingat perjalanan yang akan ditempuh lumayan jauh. Meninggalkan kota Jakarta dengan menempuh jalan Tol Jakarta-Cikampek dan dilanjutkan dengan melintasi jalan lurus Tol Cipali, kendaraan dapat melaju kencang. Awas, jangan lupa mengingatkan sopir agar jangan mengantuk, karena jalan lurus sangat rawan membuat pengendara terbuai dengan ayunan mobil. Di perjalanan, para pengendara dapat berhenti di beberapa rest area jika terasa lelah untuk beristirahat sejenak. Dan bisa melanjutkan perjalanan jika telah terasa segar kembali.
Saat mata sudah mulai menemukan sebagian bangunan yang memiliki gapura berbentuk candi, artinya traveler sudah berada di kota budaya Cirebon. Melihat asal penamaan kota ini, ada yang mengatakan berasal dari kata Sarumban atau Caruban yang artinya bersatu padu. Munculnya nama ini karena di daerah ini dahulunya merupakan tempat bercampurnya para pendatang dari berbagai suku dan etnis seperti Jawa, Sunda, Tionghoa, dan Arab. Ada juga yang berpendapat Cirebon berasal dari kata Cai-Rebon (bahasa Sunda) yang berarti air udang rebon. Karena masyarakatnya dahulu terkenal sebagai nelayan udang yang diolah menjadi terasi atau petis, sedangkan air sisa pengolahan udang tersebut dinamakan Cirebon (Air Rebon).
Saat penulis dan rombongan berkunjung ke kota yang dikenal juga dengan Kota Wali ini, kesan pertama yang terlintas di pikiran adalah Nasi Jamblang dan Empal Gentong. Karena memang saat menyusuri kota ini, tidak sedikit dijumpai warungwarung pinggir jalan, berjejer menjual dua jenis makanan ini.
Sebelum menikmati Nasi Jamblang, terlebih dahulu kami mengunjungi Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai destinasi pertama dalam tur kali ini. Keraton yang terletak di Jalan Kasepuhan no. 43 ini didirikan oleh Pangeran Cakrabuana, putera Raja Pajajaran atau yang dikenal juga dengan Pangeran Mas Zainul Arifin pada masa perkembangan Islam di Cirebon sekitar tahun 1529.
Di tempat yang rindang ini para pengunjung dapat berkeliling melihat-lihat arsitektur bangunan keraton yang klasik, gabungan akulturasi budaya Islam, Hindu, dan China. Mengitari komplek keraton ini, pengunjung juga dapat memyaksikan peninggalan-peninggalan sejarah kerajaan Islam Cirebon, diantaranya Kereta Singa Barong yang dibuat pada 1549 oleh Panembahan Losari dan digunakan oleh para Sultan Cirebon sejak masa Sunan Gunung Jati.
Selain itu masih banyak peninggalanpeninggalan kerajaan Cirebon seperti pedang, baju perang, keramik-keramik, dan lain sebagainya yang menarik untuk diketahui. Keraton ini merupakan salah satu dari empat keraton yang ada di Kota Cirebon, namun Keraton Kasepuhan ini merupakan yang terbesar dan yang paling terawat.
Setelah merasa cukup mengetahui sejarah kesultanan Islam Cirebon di Keraton Kasepuhan ini, perutpun mulai ‘keroncongan’. Saat itu tidak ada yang terpikirkan kecuali menikmati nasi jamblang khas Kota Cirebon. Mobilpun diarahkan menuju Jalan Cangkring 2, ke tempat Nasi Jamblang Ibu Nur yang menyediakan berbagai macam lauk pauk yang siap untuk disantap. Tentunya dengan penyajian daun Jati yang menjadi ciri khas Nasi Jamblang ini. Ternyata bukan saja Nasi Jamblang yang disediakan di warung Ibu Nur ini, bagi yang masih penasaran dengan Empal Gentong, pengunjung juga bisa langsung memesan di tempat ini, sembari menikmati aneka jus yang siap untuk dipesan.
Setelah santap siang dan dilanjutkan dengan menunaikan ibadah Shalat Zhuhur, tibalah waktunya untuk melihat budaya Cirebon yang lainnya, yaitu dengan mengunjungi Kawasan Batik Trusmi. Saat memasuki Jalan Syekh Datul Kahfi, lokasi kampung Batik Trusmi berada, para traveler akan langsung disambut oleh kemegahan gapura berwarna merah bata, tentunya dengan ornamen candi di sisi kiri dan kanan.
Mobil yang kami tumpangi kemudian memasuki pelataran sebuat outlet besar bertuliskan Pusat Grosir Batik Trusmi, yang diklaim sebagai pusat Batik Trusmi terlengkap dan terbesar di Indonesia. Di sini para pengunjung bisa dengan leluasa memperhatikan dan memilih berbagai macam corak budaya batik khas Cirebon untuk dibeli. Namun yang harus diingat, pengunjung disarankan agar selalu eling dalam memilah dan memilih batik, dikhawatirkan kocek yang disediakan terbatas, mengingat motif-motif batik yang dipajang di tempat ini sangat menumbuhkan hasrat untuk dimiliki.
Di kawasan yang berada di Kecamatan Plered ini ternyata bukan saja menjadi pusat jual beli berbagai motif batik. Ada juga pusat-pusat perbelanjaan yang tersebar di pinggiran jalan sebagai tempat untuk menikmat berbagai macam makanan khas Cirebon. Makanan-makanan tersebut juga layak dijadikan sebagai buah tangan untuk
dibawa pulang.
Namun yang tidak kalah menariknya, di kawasan ini juga terdapat sanggar-sanggar seni yang didirikan untuk menjaga budaya asli Cirebon. Di sanggar ini, para generasi muda yang terdiri dari para remaja dan anak-anak berkumpul dan belajar berbagai seni dan budaya khas daerah ini, mulai dari tari tradisional, seni membatik, seni lukis, hingga belajar teater. Dengan didirikannya sanggar-sanggar seperti ini, tidak berlebihan kota ini disebut juga dengan Kota Budaya.
Belum puas rasanya berkeliling menikmatsi suasana kampung Batik Trusmi ini, namun matahari tak terasa sudah tergelincir menandakan hari mulai sore. Mengingat masih ada lagi destinasi lain yang harus dikunjungi, rombongan pun bertolak dari kawasan budaya ini. Kali ini mobil mengarah menuju Taman Wisata Gua Sunyaragi di bilangan Kesambi.
Kata Sunyaragi sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, Sunya yang berarti Sunyi atau sepi, dan Ragi yang artinya raga. Konon sejarahnya Gua Sunyaragi ini didirikan sebagai tempat untuk mengasingkan diri atau bermeditasi yang dilakukan oleh para Sultan Cirebon dan keluarganya. Tempat ini juga disebut-sebut sebagai lokasi petapaan para prajurit keraton untuk meningkatkan ilmu kanuragannya.
Sejarah mengungkapkan bahwa Gua Sunyaragi didirikan oleh Pangeran Kararangen, cicit Sunan Gunung Jati pada tahun 1703 Masehi. Untuk selanjutnya Cagar Budaya Sunyaragi ini beberapa kali telah mengalami perombakan dan pemugaran, hingga saat ini termasuk tujuan utama wisatawan yang berkunjung ke Kota Cirebon.
Jika dilihat sepintas, arsitektur dari bentuk bangunan ini termasuk unik, seperti bekas tetesan lilin yang membeku, dengan dekorasi yang tidak beraturan, namun ada bentuk dan memiliki corak tersendiri. Tekstur bebatuan yang tidak beraturan inilah yang menjadikan tempat ini berbeda dari gua-gua lainnya. Di antara bangunan gundukan bebatuan ini juga terdapat lorong-lorong penghubung bawah tanah dan saluran air. Sekalipun sempit dan sedikit gelap, lorong-lorong ini masih bisa dilalui. Angker? Ya, mungkin memang ada nuansa horornya. Jadi disarankan untuk tidak mengunjungi tempat itu sendirian, apalagi di malam hari, kecuali dalam rangka uji nyali.
Satu hal yang tidak boleh ketinggalan menceritakannya adalah adanya semacam pentas berikut tempat duduknya penonton layaknya tribun yang terletak di samping Gua Sunyaragi ini. Pentas tersebut sering dipergunakan untuk perhelatan acara seni dan budaya yang digelar oleh berbagai pihak.
Berkeliling di area yang disebut juga dengan Tamansari Sunyaragi ini memang cukup melelahkan, apalagi seharian juga telah mengunjungi beberapa tempat di sekitaran Kota Cirebon. Hari pun beranjak senja, kala para rombongan bersiap untuk meninggalkan kawasan ini membawa kesan tak terlupakan.
Bersiap meninggalkan Kota Cirebon menuju Jakarta. Namun rasanya perjalanan kali ini tidak lengkap rasanya jika tidak ditutup dengan makan malam di sebuah rumah makan yang tidak asing lagi bagi pecinta kuliner yang pernah mengunjungi daerah yang menjadi bagian dari provinsi Jawa Barat ini. Di mana lagi kalau bukan Rumah Makan Klapa Manis yang terletak di bilangan Gronggong, Jalan Raya Cirebon-Kuningan. Namun sebelumnya, rombongan terlebih dahulu bersiap mencari tempat peristirahatan sembari menunggu adzan Maghrib berkumandang untuk menunaikan kewajiban pada senja itu.
Rumah Makan Klapa Manis ini termasuk tempat yang cukup mewah di sekitaran Cirebon. Tempat ini memang nampak begitu menonjol karena penampilannya yang cukup gemerlap jika dikunjungi pada malam hari. Ditambah parkiran luas yang disinggahi oleh jejeran mobil para pengunjung, membuat hati semakin penasaran untuk mampir ke tempat ini. Soal menu, pengunjung dapat memesan makanan yang bervariasi,
mulai dari Iga Bakar Sambal Dabu Dabu, Mie Godok Jawa, Nasi Timbel Komplit, hingga beberapa menu andalan lainnya.
Setelah semua makanan terlahap habis dan perutpun sudah kenyang, saat pulang akhirnya benar-benar tiba. Mobil pun lantas diarahkan menuju jalan tol yang menyambung ke tol Cipali dalam gelap malam untuk selanjutnya melintas tol Cikampek dan Tol Dalam Kota Jakarta. Perjalanan menuju Jakarta hanyut dalam mimpi, lelap dalam kekenyangan dan kelelahan. Rasa puas bergelayut di perasaan para peserta tur, menyambut hari esok setelah kembali ke kediaman masing-masing pada malam itu. B. Firman

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post When You Need Riots Insurance
Next Post Ketua Umum APARI Bambang Suseno: Fokus untuk Meningkatkan Kualitas dan Integritas Anggota

Member Login

or