1
1

Inflasi Global Tetap Dalam Siklus Penurunan, Akselerasi Jangka Pendeknya yang Berubah

Head of Investment Specialist MAMI, Freddy Tedja. | Foto: doc

Media Asuransi, JAKARTA – Pasar finansial global kembali kembali bergejolak dipicu komentar bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) mengenai arah suku bunga. Jika sebelumnya proyeksi pemangkasan bunga di tahun 2025 sebesar 100 basis points (bps), diubah menjadi hanya 50 bps.

Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Freddy Tedja, menyampaikan bahwa sesuai ekspektasi, Desember 2025 The Fed menurunkan suku bunga 25bps ke level 4,25 persen hingga 4,50 persen, sehingga total pemangkasan di 2024 mencapai 100bps. “Yang membuat pasar terkejut adalah  berubahnya proyeksi pemangkasan untuk tahun 2025, dari sebelumnya 100 bps kini hanya menjadi 50 bps, diikuti dengan naiknya proyeksi inflasi dan pertumbuhan PDB,” katanya dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa, 14 Januari 2025.

Menurut Freddy, perubahan proyeksi The Fed yang diikuti oleh volatilitas pasar yang harus menyesuaikan kembali ekspektasinya sebenarnya bukan hal baru. Kondisi ini sudah terjadi berulang-ulang sejak tahun 2023 lalu, karena seperti berulang kali disampaikan The Fed, proyeksi kebijakan ekonomi akan sangat data dependent.

|Baca juga: MAMI: Ruang Pelonggaran Moneter Masih Cukup Besar, Peluang Menarik bagi Pasar Obligasi

Namun, dia mengingatkan bahwa yang tidak boleh kita abaikan adalah fakta dan konsistensi bahwa inflasi global tetap dalam siklus penurunan. “Yang berubah-ubah adalah akselerasi jangka pendeknya, kadang laju penurunannya cepat, kadang agak melambat,” tegasnya.

Sementara itu, menjelang pelantikan Donald Trump sebagai Presiden AS, mucul berita simpang siur mengenai kebijakan-kebijakan pemerintahan baru AS mendatang. Salah satunya adalah wacana bahwa tarif perdagangan universal hanya akan diimplementasikan secara terarah dan spesifik untuk barang dan jasa tertentu. Freddy mengingatkan bahwa pengenaan tarif akan berdampak pada neraca perdagangan. Tetapi jika ditelaah, secara relatif Indonesia adalah salah satu negara yang terkena dampak minim atas potensi pengenaan tarif pemerintahan baru AS.

Di 2023, defisit perdagangan AS terhadap Indonesia hanya US$15 miliar, sekitar satu persen dari total defisit perdagangan AS. Oleh karena itu, seharusnya Indonesia tidak terlalu masuk dalam ‘radar’ target AS. Hal lain, sedikit banyak Indonesia juga dapat diuntungkan oleh potensi diversifikasi basis produksi, terutama setelah beberapa negara masuk dalam perhatian AS karena posisi defisit perdagangan yang terus meningkat: China, yaitu Meksiko, Kanada, dan Vietnam.

|Baca juga: MAMI Perkirakan Tingkat Suku Bunga Asia akan Lebih Menarik

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pandangan The Fed yang lebih hawkish serta ekspektasi kebijakan-kebijakan Donald Trump yang memicu inflasi mendorong penguatan dolar AS di kuartal terakhir 2024, memaksa Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan BI Rate sebagai upaya menjaga daya tarik rupiah.

Dengan dipertahankannya level suku bunga acuan, setidaknya ada dua implikasi: pertama, selisih suku bunga Fed Funds Rate-BI Rate, semakin lebar. Di awal 2024 hanya 50 bps, di akhir 2024 menjadi 100 bps. Kedua, dengan suku bunga acuan di level 6,00 persen di tengah inflasi yang sangat rendah, suku bunga riil Indonesia  menjadi yang tertinggi di kawasan Asia. Per Desember 2024 kemarin di level 4,5 persen.

“Kedua faktor ini diharapkan menopang rupiah untuk tidak melemah lebih dalam, di tengah tekanan pada rupiah dalam waktu dekat masih cukup terasa. Terutama menjelang peningkatan kebutuhan dolar AS musiman untuk impor bahan baku menjelang Idulfitri dan repatriasi dividen. Setelah itu, ditambah dengan kebijakan-kebijakan Donald Trump yang seharusnya sudah lebih jelas, nilai tukar rupiah dapat lebih stabil dan BI dapat melanjutkan pelonggaran moneternya,” jelas Freddy.

Dia tambahkan, di tengah kondisi eksternal yang fluktuatif, kebijakan pemerintah untuk mendorong konsumsi menjadi sangat krusial untuk menjadi penopang pertumbuhan ekonomi 2025. Terutama di tengah kebijakan suku bunga yang ‘terpaksa’ bertahan di level tinggi.   Pembatalan kenaikan PPN secara umum, karena PPN 12 persen terbatas hanya untuk barang mewah seperti kapal pesiar, mobil mewah, dan sejenisnya, cukup melegakan. Tetapi tidak serta merta dapat meningkatkan konsumsi secara massif juga.

|Baca juga: Neraca Perdagangan Surplus US$4,42 Miliar

Di lain pihak, kebijakan-kebijakan populis pemerintah termasuk anggaran perlinsos dan tambahan paket-paket stimulus senilai Rp38 triliun yang tetap diimplementasikan walaupun kenaikan PPN dibatalkan, diharapkan menjadi booster tambahan bagi konsumsi, setidaknya di kuartal pertama menjelang Idul Fitri.

Ke depannya, kebijakan-kebijakan populis yang telah dicakup dalam APBN, dan redanya ketidakpastian terkait arah suku bunga, pergerakan nilai tukar, likuiditas pasar, diharapkan dapat menopang konsumsi dan daya beli jangka menengah panjang ke tingkat yang diharapkan.

Di awal tahun 2025 ini, ketidakpastian masih cukup mendominasi pasar, membuat investor kehilangan arah. Kondisi global dan domestik sangat dinamis berubah dengan cepat, dan kita semua sebagai investor akan cenderung mengalami bias kognitif, kesalahan dalam menafsir, mencerna, dan memilah informasi. Ini adalah hal yang sangat normal.

Di kuartal pertama dan kuartal ketiga 2024, pasar terlalu optimistis bahwa moderasi ekonomi AS akan terjadi, Fed Funds Rate akan turun cepat dan besar. Ini adalah periode dominasi bias ‘greed’ yakni pasar sangat yakin bahwa hal-hal yang diharapkan pasti segera terjadi. Sebaliknya, di kuartal II/2024 dan kuartal IV/2024, pesimisme melanda dipengaruhi data ekonomi AS yang persisten serta kemenangan Trump. Saat itu pasar dipengaruhi bias ‘fear’, melihat dan memperkirakan semua hal yang terburuk akan segera terjadi.

“Bias greed atau bias fear secara bersamaan biasanya juga diikuti oleh bias ketiga, selective attention, yaitu kecenderungan untuk fokus pada elemen tertentu dan mengabaikan hal lainnya. Dalam hal ini adalah fakta bahwa secara global, inflasi tetap dalam tren penurunan, seiring siklus ekonomi global yang juga sedang dalam periode moderasi,” kata Freddy.

Dia mengingatkan bahwa walaupun terkadang sulit, sebagai investor kita harus tetap berupaya melihat segala aspek secara utuh dan meminimalkan bias. Sehingga kita dapat tetap mengacu pada potensi dan katalis jangka menengah-panjang, dibandingkan distraksi dan hambatan-hambatan jangka pendek.

Ada beberapa katalis jangka menengah-panjang yang bisa diharapkan saat ini. Seperti pemangkasan Fed Funds Rate dan BI Rate yang masih berlanjut, potensi perbaikan daya beli masyarakat jika didukung implementasi kebijakan yang tepat sasaran. Selain itu, harapan kebijakan-kebijakan Trump 2.0 yang tidak menimbulkan disrupsi global semenakutkan yang diperkirakan sebelumnya. Semua ini dapat menjadi katalis baik bagi pasar saham maupun pasar obligasi.

Editor: S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Green Power Group (LABA) Gandeng ZTE Indonesia Garap Proyek Fotovoltaik
Next Post DBS: Lanskap Geopolitik dan Ekonomi Global di 2025 Tetap Kompleks

Member Login

or