Media Asuransi, JAKARTA – Keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) untuk memangkas Fed Funds Rate (FFR) pada September 2024, sudah diperkirakan pasar. Secara relatif tingkat suku bunga Asia diperkirakan lebih menarik, seiring dengan selisih suku bunga Asia dengan AS yang diperkirakan kian melebar.
Chief Investment Officer Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Samuel Kesuma, mengatakan bahwa pemangkasan Fed Funds Rate September 2024 sebenarnya sudah diperkirakan pasar. Namun yang menjadi pertanyaan adalah besarannya, apakah 25 basis points (bps) atau 50 bps.
|Baca juga: RBC Turun Signifikan, Pengamat: Berpotensi Pukul Kepercayaan Masyarakat terhadap Industri Asuransi!
|Baca juga: 52 Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Terbaik di 2024
Menurut dia, kalangan yang mendukung pemangkasan cukup 25 bps saja, melihat pemangkasan 50 bps sekaligus sebagai tanda kepanikan The Fed terhadap kondisi ekonomi ke depan. Di lain pihak, pendukung pemangkasan 50 bps akan melihat pemangkasan yang lebih kecil sebagai sinyal The Fed yang tidak antisipatif terhadap potensi resesi.
“Yang menarik, The Fed terlihat mengambil posisi di tengah. The Fed membuat ‘gebrakan’ di awal dengan pemangkasan di luar ekspektasi, namun juga menegaskan pasar bahwa pemangkasan ke depannya akan lebih gradual, dengan total berdasarkan dot-plot 200 bps sampai akhir 2025. Menurut kami, The Fed berhasil mengkomunikasikan sikapnya yang gesit, namun terukur,” kata Samuel dalam keterangan resmi yang dikutip Rabu, 9 Oktober 2024.
Lebih lanjut dia tuturkan bahwa sebenarnya dampak pemangkasan FFR bagi kawasan negara berkembang seperti apa, semuanya sudah sering ditelaah. Namun setidaknya ada hal baru yang semakin memperkuat kepastian, yaitu informasi Fed dot-plot terakhir yang mengindikasikan potensi pemangkasan total 200 bps sampai akhir tahun 2025.
|Baca juga: OJK Sahkan Pendirian DPLK IFG Life
|Baca juga: 12 Perusahaan Asuransi Serahkan Bisnis Syariah, KUPASI: Kuantitas Bakal Ideal dan Struktur Lebih Kuat!
Selisih suku bunga Asia dengan AS diperkirakan melebar, seiring ekspektasi pemangkasan FFR akan lebih agresif dibandingkan pemangkasan suku bunga kawasan Asia, sehingga secara relatif tingkat suku bunga Asia lebih menarik. “Selain itu, proyeksi moderasi pertumbuhan PDB AS juga membuat Asia bisa lebih menarik bagi investor, dengan pertumbuhannya yang lebih tinggi karena siklus pengetatan suku bunga sebelumnya tidak seagresif AS,” jelas Samuel.
Di sisi lain, Otoritas China mengumumkan serangkaian pelonggaran moneter dan komitmen terhadap stimulus fiskal, mengindikasikan perubahan fokus kebijakan dari pro-stability menjadi pro-growth. Perubahan ini disambut positif, mendorong masuk arus dana asing secara massif ke pasar saham.
Dalam jangka pendek, euforia ini memang membuat investor asing berupaya mengambil peluang atas kondisi ini. Penyesuaian portofolio ke pasar saham China oleh investor asing berpotensi memicu aksi ambil untung dari pasar saham negara berkembang lainnya, terutama yang telah membukukan kinerja cukup baik tahun ini.
Namun secara fundamental, tentu butuh waktu bagi berbagai kebijakan tersebut, apalagi yang masih berbentuk komitmen, untuk dimplementasikan dan menciptakan dampak riil pada ekonomi. Secara jangka menengah panjang, sebenarnya negara-negara eksportir ke China, termasuk Indonesia, akan menerima keuntungan atas membaiknya perekonomian negara tersebut.
|Baca juga: DAI Siapkan Langkah Menuju SRO, Embrio Sudah Ditancapkan!
|Baca juga: Rayakan Ulang Tahun ke-16, Mandiri Inhealth Berbagi dengan Panti Asuhan di 16 Kota
Sentimen investor yang lebih positif akan tren pertumbuhan ekonomi China ke depan telah memicu penguatan di harga saham komoditas metal dan energi, yang secara umum akan berdampak positif pada pertumbuhan ekspor Indonesia dan kinerja laba emiten di sektor komoditas. “Apa yang terjadi di China dua pekan kemarin juga mengafirmasi betapa pentingnya investor melakukan diversifikasi ke pasar saham berbagai kawasan, baik Asia maupun global,” tutur Samuel.
Sementara itu di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan BI Rate bahkan sebelum The Fed melakukan penurunan. MAMI menilai bahwa BI cukup yakin untuk melakukan penurunan suku bunga karena memang The Fed sudah mengeluarkan sinyal yang lebih tajam sejak satu-dua bulan sebelumnya, terutama pernyataan-pernyataan terkait melemahnya sektor tenaga kerja. Sebelumnya, hal ini jarang dibicarakan dalam rapat FOMC.
Faktor lain adalah nilai tukar rupiah yang mulai stabil, dan inflasi yang terus melandai membuat fokus kebijakan BI sedikit-sedikit mulai beralih dari pro-stability menjadi lebih seimbang antara stabilitas dan pertumbuhan. Jadi memang kebijakan-kebijakan ke depan berpotensi dapat menjadi lebih pro-growth.
“Kami perkirakan di kuartal keempat ini BI masih akan kembali menurunkan suku bunga, sebagai antisipasi menopang pertumbuhan di tengah risiko perlambatan ekonomi global dan domestik seperti yang terlihat dari kecenderungan deflasi akhir-akhir ini. Proyeksi kami, sampai akhir 2024 ini BI Rate akan berada di kisaran 5,5 persen hingga 5,75 persen,” jelasnya.
Awal siklus pemangkasan suku bunga, menurut Samuel, dapat menjadi peluang bagi investor jangka panjang untuk berinvestasi di saham. Secara historis pasar saham Indonesia konsisten mencatat kinerja positif dalam periode pemangkasan suku bunga. Dari sisi valuasi pun, per akhir September ini pasar saham kita terlihat atraktif, yakni PE IHSG 13,7 kali dibandingkan rata-rata 15 kali. Kondisi ini merupakan titik masuk menarik bagi investor.
Baca juga: 12 UUS Asuransi Serahkan Bisnis Syariah, Pengamat: Bagus, Mereka Tahu Kapasitas!
|Baca juga: OJK Terus Awasi Secara Intensif 8 Asuransi dan Reasuransi yang Bermasalah
Walaupun di akhir bulan September 2024 pasar saham domestik didera arus keluar investor asing, sebenarnya di 2023 dan tahun berjalan 2024 minat investor asing terhadap pasar Indonesia menunjukkan perbaikan signifikan. Memang tidak dapat diabaikan, secara jangka pendek arus dana asing dapat bergerak fluktuatif dipengaruhi oleh faktor yang tentunya harus kita cermati, seperti pemilu Amerika Serikat, tensi geopolitik, risiko moderasi ekonomi domestik, serta fokus kebijakan pemerintah baru.
Dengan segala kondisi, peluang, dan risiko yang harus dicermati seperti diulas di atas, MAMI menilai bahwa untuk saham, memang ada pilihan-plihan taktis untuk menangkap peluang jangka pendek.
Menurut Samuel Kesuma, secara umum sektor pilihan MAMI saat ini adalah:
1. Sektor Financials
Emiten perbankan diperkirakan akan membukukan kinerja pertumbuhan laba yang lebih baik tahun depan seiring dengan tren suku bunga yang lebih rendah dan kondisi likuiditas yang lebih baik. Tekanan jual jangka pendek dari investor asing memberi peluang akumulasi untuk investor jangka panjang.
2. Sektor Communications
Keputusan beberapa operator untuk menaikkan harga paket data mengurangi kekhawatiran akan eskalasi kompetisi di industri telekomunikasi. Pemulihan bertahap di daya beli masyarakat juga akan mendukung kinerja laba emiten tahun depan.
3. Sektor Consumer staples
Valuasi emiten konsumer secara umum berada di level yang menarik, jika dibandingkan dengan kinerja finansial emiten yang cukup baik tahun ini. Daya beli konsumen diperkirakan akan terus berangsur membaik tahun depan.
Editor: S Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News