Saat ini dan di masa mendatang, industri jasa keuangan akan sangat tergantung pada teknologi informasi (TI). Saat ini TI baru sebatas menjadi faktor pendukung, namun nantinya akan menjadi faktor pengubah wajah industri jasa keuangan. Karena dengan TI, maka kegiatan di jasa keuangan akan dapat berlangsung lebih cepat, lebih efisien, dan akses masyarakat lebih mudah. Bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selain dapat meningkatkan efisiensi, TI juga sejalan dengan program pemerintah, yakni financial inclusion. Program ini menyasar masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tinggal di daerah-daerah terpencil.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto dalam jumpa pers di kantornya, 6 Oktober 2016. “Dulu dan sampai sekarang, di Indonesia bank masih menggunakan cabang-cabang untuk operasionalnya. Tetapi saat ini di negara-negara maju, banyak bank yang mengurangi kantor fisiknya. Banyak layanan kepada nasabah yang dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi. Ada istilah digital banking, bank melayani nasabahnya secara online,” tuturnya.
Menurutnya hal itu tak terlepas dari perkembangan kemajuan teknologi di industri jasa keuangan atau disebut financial technology (Fintech). Di Indonesia, Fintech 2.0 terkait dengan produk keuangan yang dikeluarkan oleh LJK yang telah ada, sehingga diatur dan diawasi oleh OJK. Fintech 2.0 ini bentuknya antara lain berupa layanan e-banking, laku pandai, dan digital branch di perbankan. “Di pasar modal, untuk membeli saham atau reksadana, investor tidak harus mendatangi manajer investasi. Tetapi melalui fintech, mereka dapat melakukan transaksi secara online. Untuk IKNB misalnya asuransi, pembelian polis maupun pembayaran premi dapat dilakukan secara online,” jelasnya.
Rahmat Waluyanto juga menjelaskan bahwa OJK baru saja menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) dengan Kementerian Kominfo. Nantinya OJK akan bertindak sebagai certificate authority, lembaga yang melakukan sertifikasi untuk tanda tangan digital kepada pihak-pihak yang melakukan transaksi secara digital di sektor keuangan baik perbankan, pasar modal, maupun IKNB. Adanya sertifikat atas tanda tangan digital ini akan menjamin bahwa transaksi yang dilakukan secara digital telah dijamin keamanan ata keabsahannya dan berkekuatan hokum, sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia. “Tanda tangan digital ini sifatnya wajib bagi pelaku industri jasa keuangan, terutama pelaku fintech. Kami akan memberlakukan sistem itu secara bertahap. Tahap awal adalah sosialisasi kepada para pelaku jasa keuangan, meminta pendapat mereka, dan kemudian diterbitkan POJK,” tandasnya.
Lebih lanjut dituturkan bahwa pada dasarnya semua pihak yang terlibat dalam transaksi digital ini harus memperoleh CA dari OJK. Ditargetkan awal tahun 2017 akan dimulai pelaksanaan CA ini sehingga transaksi dengan digital signature benar-benar dapat dilakukan. Oleh karena itu, waktu penerbitan POJK terkait digital signature ini tersebut kemungkinan akhir tahun ini sehingga di awal tahun depan dapat langsung diberlakukan. “Ruang lingkup aturan yang sedang disiapkan di bidang fintech, sementara ini adalah aturan di bidang permodalan, aturan model bisnis, aturan perlindungan konsumen, dan aturan manajemen risiko minimal,” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK ini.
Rahmat Waluyanto juga mengatakan bahwa saat ini pihaknya sudah membentuk Tim Pengembangan Inovasi Digital Ekonomi dan Keuangan yang terdiri dari gabungan sejumlah satuan kerja di OJK. Tim ini bertugas untuk mengkaji dan mempelajari perkembangan fintech dan menyiapkan peraturan serta strategi pengembangannya. Dari kajian OJK, jumlah sementara perusahaan Fintech yang masuk dalam otorisasi OJK sebanyak 120 perusahaan yang beroperasi di Indonesia. “OJK secara intensif terus mempelajari perkembangan fenomena fintech ini, agar OJK dapat mengawal evolusi ekonomi ini supaya mampu mendukung perkembangan industri jasa keuangan ke depan dan terus menjamin perlindungan konsumen,” tandasnya.
Ditambahkan bahwa perkembangan sementara dari kajian yang dilakukan oleh Tim Pengembangan Inovasi Digital Ekonomi dan Keuangan OJK, klasifikasi perusahaan fintech yang masuk dalam otorisasi OJK bisa terdiri dari berbagai jenis usaha seperti perbankan, asuransi, investasi, pembiayaan, pinjam meminjam (peer to peer lending), crowd funding, chanelling kredit dan lain sebagainya. “Klasifikasi perusahaan fintech itu di luar jenis usaha fintech di bidang sistem pembayaran yang akan diatur Bank Indonesia,” kata Rahmat.
Kehadiran Fintech, bagi OJK sebagai otoritas di industri jasa keuangan merupakan peluang untuk terus meningkatkan perkembangan sektor jasa keuangan termasuk mendorong program inklusi keuangan. Namun juga menjadi tantangan bagi OJK untuk memastikan keandalan, efisiensi dan keamanan dari transaksi online tersebut agar tidak merugikan konsumen.
Dalam waktu dekat, selain masalah CA (certificate authority), OJK memiliki beberapa rencana untuk mendukung berkembangnya industri fintech. Pertama peluncuran Fintech Innovation Hub sebagai sentra pengembangan dan menjadi one stop contact fintech nasional untuk berhubungan dan bekerjasama dengan institusi dan lembaga yang menjadi pendukung ekosistem keuangan digital. Kedua, penerbitan sandbox regulatory untuk fintech. Peraturan ini mengatur hal-hal yang minimal agar tumbuh kembang fintech memiliki landasan hukum untuk menarik investasi, efisiensi, melindungi kepentingan konsumen dan tumbuh berkelanjutan.
Ketiga, kajian mengenai implementasi standar pengamanan data dan informasi dalam pengelolaan industri fintech dan kebutuhan Pusat Pelaporan Insiden Keamanan Informasi di industri jasa keuangan. Keempat, kajian Vulnerability Assessment (VA) Tersentralisasi di industri jasa keuangan untuk memastikan postur serta kematangan atau kesiapan penanganan keamanan informasi selalu terjaga guna menekan risiko serta ancaman keamanan informasi pada industri jasa keuangan. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Related Posts