Financial Expert Ajaib Sekuritas, Ratih Mustikoningsih, menerangkan bahwa tidak dipungkiri jika kenaikan suku bunga dapat memberikan katalis negatif ke pasar saham. Hal ini disebabkan pelaku pasar akan beralih untuk memegang aset yang lebih aman dan memiliki risiko yang lebih kecil seperti obligasi dan deposito di tengah naiknya yield dan tingkat bunga deposito itu sendiri.
“Kenaikan suku bunga ini juga akan berpengaruh pada earnings emiten akibat melemahnya daya beli masyarakat dan kenaikan tingkat bunga pinjaman,” katanya melalui riset.
Kenaikan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia pada September 2022 sebesar 50 basis poin menjadi di level 4,25% merupakan langkah (BI) dalam upaya front-loading, preemptive dan forward looking terhadap ekspektasi kenaikan inflasi ke depan. Seperti yang diketahui kenaikan harga BBM membuat inflasi di bulan September 2022 diprediksikan oleh BI bisa mencapai 5,9% dan akan lanjut meningkat di periode selanjutnya. Mengingat multiplier effect dari kenaikan BBM ini sangat luas dan mendorong kenaikan harga di beberapa sektor lainnya.
|Baca juga: IHSG Bergerak Mixed, Ajaib Rekomendasikan ASSA, FREN, & BBYB
Pemicu lainya yang membuat BI masih akan agresif menaikan suku bunga ke depan adalah kebijakan hawkish dari bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Tingkat suku bunga The Fed saat ini berada pada 3,00%-3,25%, tertinggi sejak 2008. Menyusul keseriusan The Fed memerangi inflasi hingga pada targetnya di level 2%, walaupun hal tersebut harus mengorbankan pelemahan daya beli dan perekonomian.
Sejalan dengan hal tersebut, BI mencoba untuk mengiringi kenaikan suku bunga oleh The Fed untuk meminimalkan pelemahan nilai tukar rupiah dengan melanjutkan strategi Operation Twist dan mengurangi capital outflow yang terjadi di pasar obligasi.
Menurut Ratih, sektor barang konsumen primer saat ini menarik sebagai sektor defensif. Kenaikan inflasi akan berpengaruh terhadap daya daya beli masyarakat, sehingga mereka akan cenderung mementingkan kebutuhan primer dibandingkan dengan kebutuhan akan barang tahan lama (durable goods).
Oleh karena itu, sektor barang konsumen primer (consumer staples) masih menarik ditambah lagi sentimen penurunan harga komoditas CPO. Harga CPO saat ini berada di level RM 3.700, menurun dari level tertingginya sebesar RM7.000 per ton tahun ini. Hal tersebut menjadi katalis positif bagi emiten primer karena menekan COGS, marjin profitabilitas akan meningkat.
Sektor kesehatan juga masih layak untuk dijadikan sektor pilihan di tengah inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga. Katalis positifnya yaitu tingkat GDP per kapita masyarakat Indonesia meningkat dari tahun ke tahun memiliki korelasi positif dengan angka harapan hidup masyarakat.
“Oleh karena itu, permintaan pada sektor kesehatan juga pastinya akan meningkat. Jadi, tidak heran jika beberapa emiten dengan kapitalisasi pasar yang tinggi, seperti ASII dan EMTK gencar untuk ekspansi bisnis pada sektor kesehatan,” jelasnya.
|Baca juga: MARKET REVIEW: Saham Sektor Energi Topang Penguatan IHSG
Selain itu, sektor menarik lainnya adalah sektor energi, hal ini sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari Asian Development Bank (ADB) untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022 akan tumbuh mencapai 5,4% dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,0%. Hal ini didukung oleh kinerja ekspor yang mencetak surplus neraca perdagangan selama 28 bulan berturut-turut, sejak Mei 2020.
Walaupun pelemahan ekonomi global mengintai, permintaan komoditas ekspor unggulan Indonesia seperti CPO dan batu bara masing tinggi. Khususnya harga kenaikan harga batu bara, menyusul tensi geopolitik Rusia-Ukraina yang masih terjadi menyebabkan supply disruption terutama pada komoditas energi di tengah permintaan yang meningkat memasuki musim dingin di Eropa.
Kemudian yang terakhir, sektor telekomunikasi, hal ini dikarenakan tren kenaikan penggunaan data seluler semakin meningkat dan penetrasi internet di indonesia masih potensial ke depan didorong oleh ekonomi digital yang terus terakselerasi. Misalnya, Telkom Indonesia (TLKM) gencar mengeksplorasi strategi bisnis, yaitu penggabungan antara Telkomsel dan IndiHome dalam bentuk Fixed & Mobile Convergence (FMC) untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi beban operasional, serta pengembangan bisnis data center.
Lebih lanjut, Ratih memilih beberapa saham yang masih menarik untuk dicermati berdasarkan sektor yang telah dibahas di atas, antara lain:
ADRO
HRUM
(Buy on Breakout) di area Rp2.050 sampai Rp2.060, dengan target harga pada resistance di level Rp2.350 serta pertimbangkan cut loss apabila break support di level harga Rp1.850.
MIKA:
(Buy) di area Rp2.650 sampai Rp2.670, dengan target harga pada resistance di level Rp2.900 serta pertimbangkan cut loss apabila break support di level harga Rp2.600.
TLKM:
(Buy on Weakness) di area Rp4.320 sampai Rp4.350, dengan target harga pada resistance di level Rp4.520 serta pertimbangkan cut loss apabila break support di level harga Rp4.200.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News