Media Asuransi, GLOBAL – Perkembangan ekonomi China yang selama ini didorong oleh kredit akhirnya mengalami stagnasi dan kini berubah menjadi ancaman serius bagi perekonomian global. Dalam satu minggu terakhir, 40 bank di China terpaksa ditutup, sementara 3.800 lembaga keuangan lainnya berada di ambang kebangkrutan.
|Baca : Swiss Re: Insurance Linked Securities Kembali Cetak Rekor Baru di Semester I/2024
Sebagian besar lembaga keuangan ini terjebak dalam krisis akibat pinjaman besar yang diberikan kepada produsen dan pemerintah daerah. Runtuhnya Bank Jiangxi China menambah kompleksitas situasi di sektor perbankan, memicu kekhawatiran lebih lanjut di pasar.
Laporan dari portal Renminbao menyebutkan nasabah Bank Jiangxi menyerbu kantor-kantor cabang karena khawatir dengan rumor kebangkrutan. Bank tersebut sebelumnya telah melaporkan potensi penurunan keuntungan hingga 30 persen akibat masalah pembayaran dari nasabah.
Dilansir dari laman Azon Global, Kamis, 15 Agustus 2024, sekitar 3.800 bank di China sedang menghadapi ancaman kebangkrutan. Total aset yang dimiliki oleh bank-bank tersebut mencapai sekitar 5,7 triliun dolar AS, atau sekitar 13 persen dari total sistem perbankan di negara tersebut. Para ahli menyebutkan sebagian besar bank ini telah lama salah urus, dengan menumpuk banyak kredit macet yang sulit untuk ditagih.
Terlibat dalam pemberian kredit
Krisis ini diperparah oleh masalah di sektor real estate, di mana banyak bank terlibat dalam pemberian kredit kepada pengembang dan pemerintah daerah. The Economist melaporkan hingga 40 persen dari portofolio beberapa bank terdiri dari pinjaman yang tidak dapat dilunasi.
“Tahun-tahun pertumbuhan yang didorong oleh kredit akhirnya berakhir. Perlambatan ekonomi China dan dampak negatifnya terhadap ekonomi global akan menjadi hasilnya,” ujar seorang narasumber dari The Economist.
Banyak kota dan wilayah di China kini terjebak dalam lilitan utang yang besar. Beban keuangan yang sangat berat ini mendorong pejabat pemerintah daerah untuk meminta bantuan dari pusat, dengan mengirim duta besar ke Beijing pada musim semi lalu. Utang yang belum terbayar semakin mengancam stabilitas ekonomi regional dan nasional.
Para analis memperingatkan bahwa krisis ini terutama dipicu oleh dampak dari krisis real estate dan pandemi covid-19 yang terus berlangsung, yang semakin memperburuk kondisi ekonomi di seluruh negeri.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News