Media Asuransi, JAKARTA – Ketua FPSB Indonesia sekaligus Pengamat Asuransi Tri Joko Santoso mengatakan akan menjadi hal yang rumit jika pembayaran premi asuransi menggunakan aset kripto. Apalagi dengan pajak kripto di Indonesia yang relatif tinggi.
“Kripto sebagai alat pembayaran di bawah Bank Indonesia (BI). Saya kira BI sudah memiliki rencana tersebut, kalau di industri asuransi nanti bingungnya adalah bila terjadi klaim meninggal bayarnya pakai apa? Pakai kripto? Saya tak bisa membayangkan dari sisi perpajakannya,” jelas Tri Joko, kepada Media Asuransi, Jumat, 12 Januari 2024.
|Baca: Pemula Wajib Tahu! Ini Penjelasan tentang Kripto dan Cara Kerjanya
Sebelumnya, regulator Amerika Serikat (AS) secara resmi menyetujui Exchange-Traded Fund (ETF) Bitcoin Spot yang terdaftar di AS untuk menggunakan bitcoin sebagai underlying. Dengan demikian ETF Bitcoin menjadi aset kripto pertama yang diakui Pemerintah AS.
CEO Indodax Oscar Darmawan menyatakan persetujuan ini merupakan tonggak penting bagi industri aset kripto global dan berpotensi memberikan dampak positif bagi pasar aset kripto di Indonesia. Dengan demikian eksistensi aset kripto ke depan diproyeksikan akan cemerlang.
Sementara itu, pelaku usaha industri kripto meminta kepada pemerintah untuk meninjau ulang besaran pungutan pajak kripto. Pasalnya, besaran pajak dan pungutan kripto saat ini dinilai berpotensi menekan kinerja industri kripto nasional.
Transaksi kripto dikenakan pajak
Oscar Darmawan mengatakan transaksi kripto dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,10 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11 persen untuk transaksi yang dilakukan di platform terdaftar Bappebti. Selain itu, saat ini transaksi kripto juga dikenakan pungutan sebesar 0,02 persen untuk biaya bursa, deposito, dan kliring kripto.
|Baca: ETF Bitcoin Spot Meluncur, Bos Tokocrypto Bilang Positif buat Pasar Kripto
“Banyaknya jenis pajak yang dikenakan, membuat jumlah total pajak yang harus dibayarkan oleh investor menjadi mahal dan berpotensi dapat mematikan industri kripto di Indonesia,” tutur Oscar.
Menurutnya, pungutan tersebut berpotensi membebani keuangan investor kripto. Pada akhirnya, hal itu akan berdampak terhadap pelaku industri kripto dalam negeri. “Apalagi jika dibandingkan dengan pajak di industri saham, nominal pajak di industri kripto saat ini tidak seimbang. Pajak saham totalnya hanya 0,1 persen,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News