Media Asuransi, JAKARTA – Isu pinjol ilegal masih menjadi tantangan terbesar sektor pendanaan bersama alias peer-to-peer lending. Menghadapi tantangan ini, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) akan terus mendorong upaya untuk meningkatkan inklusi dan literasi masyarakat Indonesia.
Hal itu disampaikan Ketua Umum AFPI, Adrian Gunadi, pada Fintech Visionary Talk II di The 3rd Indonesia Fintech Summit (IFS) 2021 di Nusa Dua, Bali, Minggu, 12 Desember 2021,
“Secara agregat pinjaman yang sudah disalurkan per Oktober 2021 mencapai Rp272,4 triliun. Dengan angka ini, masih ada kebutuhan pendanaan yang mencapai Rp1.600 triliun yang belum dapat terlayani. Artinya, potensi fintech pendanaan bersama masih terbuka lebar. Mengingat hal ini, AFPI akan turut melakukan reformasi terhadap layanan pengaduan menjadi semakin responsif, serta menambah komponen sumber daya manusia (SDM) internal, terutama berkaitan pengawasan kode etik,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti, mengungkapkan bahwa BI bersinergi dengan pemerintah serta para pelaku usaha mendorong upaya digitalisasi UMKM secara end-to-end di berbagai aspek. Beberapa hal yang dilakukan, antara lain dari sisi produksi untuk meningkatkan produktivitas, memperluas akses pemasaran melalui onboarding, dan memanfaatkan transaksi pembayaran digital untuk menciptakan UMKM yang berdaya saing dan berkelas, melalui QRIS yang saat ini telah mencapai 13,4 juta merchant di seluruh Indonesia, dengan 95 persen merupakan UMKM.
“Bank Indonesia juga telah menyusun kerangka kerja Kebijakan Pengembangan UMKM BI yang bertujuan mendorong UMKM Indonesia agar memiliki daya saing, salah satunya adalah melalui program UMKM go digital. Selain itu, Bank Indonesia juga telah memiliki beberapa detail program digitalisasi UMKM yang disusun secara end-to-end untuk mengakselerasi inisiatif Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI),” imbuh Destry.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida, mengungkapkan bahwa sebagai regulator, OJK telah menginisiasi akselerasi Transformasi Digital Sektor Jasa Keuangan, yang tertuang dalam Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI) 2021-2024 dan Roadmap & Action Plan Inovasi Sektor Jasa Keuangan 2020-2024.
|Baca juga: Pinjol Ilegal Merusak Citra Industri Fintech
Sejak 2021 OJK telah menyiapkan sejumlah inisiatif strategis untuk menghadapi berbagai perkembangan dan tantangan di sektor jasa keuangan. Salah satu yang menjadi prioritas adalah percepatan digitalisasi serta optimalisasi ekosistem digital, dan peningkatan literasi digital.
Selain itu Nurhaida juga menyoroti perkembangan pada sektor teknologi, terutama dengan penggunaan aplikasi Big Data, Artificial Intelligence yang memunculkan berbagai produk dan model bisnis baru, antara lain hadirnya Bigtech, Neo Bank, Lifestyle Center, dan Super-Apps.
“Perkembangan pada sektor teknologi menyadarkan kami bahwa terdapat tiga isu utama yang perlu menjadi perhatian regulator dalam membawa transformasi digital ke depan, yaitu integrasi, disrupsi, dan kapasitas antara fintech, regulator, dan pelaku dari berbagai sektor ekonomi.” ungkap Nurhaida.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Pandu Sjahrir, menambahkan bahwa selama BFN dan IFS yang merupakan kolaborasi BI, OJK, AFTECH, AFSI, dan AFPI ini, telah berlangsung lebih dari 111 kegiatan virtual yang terdiri dari webinar, IG Live, dan podcast dengan lebih dari satu juta partisipasi aktif masyarakat yang menonton dan mengikuti aneka kegiatan tersebut. Pandu menilai, BFN dan IFS ini dapat menjadi titik awal yang baik untuk memperlihatkan perkembangan digital di Indonesia menuju G20 yang akan dilangsungkan pula di Bali di 2022 mendatang.
“Terima kasih untuk BI dan OJK yang telah menghubungkan ketiga asosiasi fintech di Indonesia. Dengan kolaborasi, ternyata kita dapat membuat acara dengan sangat besar. Acara ini sangat bagus untuk menjadi permulaan bagi perhelatan G20 tahun depan. Kita dapat menunjukkan kepemimpinan dan sinergi di bidang digital melalui acara ini dengan baik. Semoga BFN dan IFS tahun 2022 lebih besar lagi dengan capaian yang lebih baik untuk mewujudkan inklusi keuangan di Indonesia,” ungkap Pandu.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), Ronald Wijaya, ikut menyampaikan bahwa potensi fintech syariah di Indonesia masih sangat terbuka. “Indonesia menempati urutan kelima pangsa pasar terbesar fintech syariah di dunia. Data dari Investree, pengguna didominasi oleh milenial. Artinya struktur penduduk usia muda lebih meminati fintech syariah. Ke depan, kami terus melakukan kampanye yang menyasar pengguna potensial fintech syariah,” beber Ronald.
Namun, Ronald juga menangkap perhatian khusus dari Wapres Ma’ruf Amin mengenai masih minimnya fintech syariah yang legal. “Komitmen kami di AFSI adalah agar anggota terus mendorong inovasi tapi tidak lupa untuk patuh terhadap ketentuan yang ada,” sambungnya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News