Pada tanggal 11-12 Oktober 2024, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) telah sukses menyelenggarakan ajang pertemuan bergengsi bernama Indonesia Rendezvous. Tahun ini merupakan tahun ke-28 penyelenggaraan Indonesia Rendezveous. Event berskala internasional tersebut mengangkat tema “Securing Stability & Unravelling Risk Impacting the Insurance Landscape”.
Indonesia Rendezvous tahun ini berlangsung lebih semarak dibandingkan tahun lalu karena dihadiri oleh lebih dari 800 peserta dari 15 negara meliputi Korea, India, Malaysia, Singapura, Filipina, Hong Kong, Inggris, USA, China, Thailand, Prancis, Mauritius, Bahrain, Kanada, dan tentunya Indonesia sebagai tuan rumah.
Event ini dikemas begitu apik tidak hanya sebagai ajang diskusi mengenai isu-isu kontemporer tetapi juga sebagai media untuk memperluas networking dan melakukan lobi-lobi bisnis. Banyak perusahaan dari berbagai sektor mulai dari perusahaan reasuransi lokal dan global, perusahaan pialang, lembaga rating, hingga perusahaan penyedia layanan teknologi dan digital, turut ambil bagian dengan membuka stand dan ruangan khusus untuk memperkenalkan lebih dekat produk-produk yang mereka miliki.
Ada empat isu besar yang diperbincangkan dalam sesi seminar yaitu pengelolaan risiko dalam ekosistem digital, dukungan industri asuransi dalam mendorong investasi ramah energi, tantangan bisnis asuransi kesehatan, dan persiapan industri asuransi menjelang penerapan asuransi wajib kendaraan bermotor. Di luar itu, masih banyak isu-isu aktual dan menarik yang dibahas dalam sesi CEO Gathering.
Berdasar informasi dari beberapa eksekutif perasuransian yang hadir dalam forum CEO Gathering yang dihadiri oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono, terjadi diskusi dua arah yang produktif yakni pelaku usaha menyampaikan ‘curhatan’ dan pihak OJK meresponsnya serta menyampaikan inisiatif-inisiatif apa saja yang sedang dilakukan untuk memperbaiki kondisi industri asuransi umum yang sedang tidak baik-baik saja.
Sejumlah permasalahan yang menjadi ‘keluhan’ dari pelaku asuransi umum antara lain soal kebijakan peningkatan permodalan, implementasi IFRS 17 atau PSAK 117, praktik perang harga (pricing), revisi tarif asuransi properti dan kendaraan, beban biaya akuisisi yang besar, beban pajak, hingga masalah bajak-membajak tenaga aktuaria.
Bila kita menilik realisasi kinerja pendapatan premi industri asuransi umum hingga kuartal II/2024, memang terkesan industri ini baik-baik saja. Pasalnya, premi yang dicatatkan tumbuh sebesar 18,4 persen menjadi Rp57,9 triliun.
Namun ternyata di balik tren pertumbuhan positif tersebut masih terjadi praktik-praktik persaingan bisnis yang tidak sehat sehingga membuat industri asuransi umum rentan terguncang bila terjadi ledakan klaim. Misalnya dalam praktik asuransi kendaraan bermotor, total biaya akuisisi dapat mencapai 65 persen yang dikemas dalam berbagai bentuk expenses. Padahal seharusnya biaya-biaya tersebut tidak harus sebesar itu alias dapat ditekan. Terlebih, bila ternyata biaya-biaya tersebut diberikan kepada para pihak yang seharusnya tidak menerimanya.
Tak hanya soal beban biaya akuisisi, praktik rebutan kue bisnis dengan cara banting harga juga membuat margin yang diperoleh perusahaan asuransi menipis, bahkan ada yang sampai minus. Pertanyaannya, dengan jor-joran biaya akuisisi yang besar dan banting harga, bagaimana pengelolaan risiko dapat dilakukan secara proper dan prudent?
Menanggapi masalah ini, OJK menyampaikan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan pengawas OJK yang membidani sektor jasa keuangan lainnya seperti bank dan multifinance, agar pelaku jasa keuangan yang notabene sebagai pihak yang menyerahkan risikonya atau tertanggung tidak meminta fee kepada perusahaan asuransi. Di sisi internal perusahaan asuransi, OJK meminta para direksi untuk melakukan efisiensi sesuai dengan rasio-rasio kesehatan keuangan yang dipersyaratkan regulator.
Dari sisi pengawasan, OJK kini melakukan pemeriksaan yang tidak hanya vertikal tapi juga horizontal. Pengawasan horizontal yang dimaksud adalah dengan melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang menerima pembayaran komisi. Tujuannya adalah untuk menelusuri siapa saja penerima manfaat dari pembayaran komisi.
Terkait kebijakan peningkatan modal, OJK menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak akan dianulir karena sudah didasarkan pada kajian yang matang. OJK pun telah menyiapkan skema untuk mengakomodasi perusahaan yang tidak mampu memenuhi ketentuan permodalan baru pada 2028 tapi ingin tetap melanjutkan bisnisnya yaitu melalui KUPA. Menurut OJK, tujuan peningkatan modal adalah untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan perusahaan asuransi dalam rangka pengembangan produk dan teknologi.
Soal implementasi IFRS 17, OJK menegaskan bahwa industri jasa keuangan khususnya asuransi harus mengikuti standar internasional. Hal itu telah menjadi komitmen pemerintah Indonesia sehingga implementasinya tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Titik temu dari diskusi dua arah dalam acara CEO Gathering tersebut adalah asa untuk menciptakan ekosistem asuransi umum yang efisien sehingga industri ini bisa tumbuh sehat, kuat, dan berkelanjutan. Sudah saatnya semua pelaku industri asuransi umum bersatu padu menciptakan ekosistem bisnis yang sehat. Apalagi, semuanya sudah sama-sama menandatangani kode etik yang baru.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

