Bank Indonesia (BI) meminta seluruh Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) bukan bank atau money changer untuk segera mengurus perizinan ke bank sentral. Saat ini masih ada lebih dari 600 money changer yang belum berizin, mereka diberi kesempatan untuk mengurus perizinan hingga awal April mendatang. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean pada acara Pelatihan Wartawan Ekonomi yang diselenggarakan Bank Indonesia di Bandung, 17-19 Februari 2017.
Menurut Eni, saat ini KUPVA bukan bank yang telah memiliki izin resmi sudah mencapai 1.064 perusahaan yang tersebar di Jabodetabek, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Bali, dan Serang. Sementara itu ada 612 KUPVA yang belum memiliki izin resmi, terutama berada di Jabodetabek, Lhokseumawe (Aceh), Bali, Kediri (Jawa Timur), dan Kalimantan Timur.
Menurut Eni, bentuk usaha money changer tidak berizin biasanya adalah berupa usaha perorangan. Selain itu, ada juga yang berupa toko emas, toko pakaian, maupun toko elektronik hingga perseroan terbatas (PT). “Di Jabodetabek, 46 persen model usaha penukaran uang asing tidak berizin adalah perorangan dan 43 persen PT (perseroan terbatas). Sisanya tujuh persen adalah toko dan empat persen koperasi,” katanya.
Ditambahkan, secara umum ada tiga model bisnis ini yang tidak berizin yang ditemukan BI. Model pertama adalah perorangan, pelakunya adalah individu dan penukaran uang kertas asing maupun uang rupiah dilakukan secara tunai atau transfer. Ini ditemukan di wilayah Pasar Baru, Kwitang, Cianjur, Jayapura, dan sebagainya. Model bisnis kedua adalah berupa kios penukaran uang. Pelaku membuka kios khusus untuk melakukan penukaran UKA dan kegiatan penukaran UKA atau rupiah dilakukan secara tunai maupun transfer. Model bisnis seperti ini banyak ditemukan di wilayah Jawa Barat.
Sementara itu, model bisnis ketigaadalah kios dengan bisnis sampingan penukaran UKA. Dalam model bisnis ini, pelaku melakukan kegiatan penukaran UKA sebagai bisnis sampingan dari bisnis utamanya, semisal toko emas, toko elektronik, biro perjalanan, dan sebagainya. Penukaran uang asing maupun rupiah dilakukan secara tunai atau transfer banyak ditemukan di wilayah Cianjur (Jawa Barat), Melawai dan Ratu Plaza di Jakarta Selatan, Gajah Mada di Jakarta Barat, Lhokseumawe (Aceh), dan lain-lain.
Banyaknya KUPVA bukan bank yang tidak miliki izin resmi ini, mempunyai banyak modus mencurigakan, misalnya digunakan sebagai pencucian uang, pendanaan teroris, serta tempat penukaran uang hasil kejahatan narkoba. Bank Sentral memberikan tenggang waktu hingga tanggal 7 April 2017 untuk mengurus perizinan usahanya. “Bagi KUPVA bukan bank yang tidak memiliki izin BI akan memberikan tenggang waktu hingga tanggal 7 April 2017 untuk mengurus perizinan usahanya kepada BI. Bila hingga batas tersebut belum mengurus izin usahanya, maka BI bersama pihak kepolisian, akan menutup usaha tersebut,” kata Eni.
Dijelaskan bahwa pengaturan perizinan KUPVA bukan bank ini sangat diperlukan dalam mencegah dimanfaatkannya untuk pencucian uang, pendanaan teroris atau kejahatan lain. Menurut Eni, sebagai upaya hukum, BI telah bekerjasama dengan PPATK, BNN, dan Polri, tentang KUPVA bukan bank yang tidak berizin. “Perlunya kerja sama ini karena 90 persen yang bermasalah itu berasal dari KUPVA bukan bank yang tidak berizin dan mereka disangkakan melakukan transaksi uang dari money laundry dan transaksi narkotika,” tegasnya.
Di sisi lain, BI mencatat bahwa tren penukaran valuta asing (valas) di KUPVA atau money changer terus mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari transaksi penukaran valas di seluruh money changer berizin yang tersebar di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 2014 hingga 2016. Transaksi penukaran valas di money changer di Indonesia pada tahun 2014 tercatat mencapai Rp205,1 miliar. Angka tersebut terus meningkat, terlihat dari jumlah transaksi pada tahun 2015 yang mencapai Rp243,5 miliar dan tahun 2016 mencapai Rp251,1 miliar.
Menurut Eni, berdasarkan siklusnya, penukaran valas cenderung meningkat pada periode kuartal kedua dan kuartal keempat, hal ini terjadi pada tahun 2014 hingga 2016. Siklus ini wajar lantaran periode tersebut banyak dimanfaatkan masyarakat untuk berlibur ke luar negeri. “Biasanya penukaran valas meningkat cukup signifikan pada periode liburan tengah tahun atau akhir tahun. Banyak orang liburan ke luar negeri, sebelumnya menukarkan uang,” jelasnya.
Adapun mata uang yang paling banyak ditransaksikan di KUPVA bukan bank berizin selama periode Januari hingga Desember 2016 adalah dolar AS dengan persentase 39,56 persen. Kemudian diikuti dengan dolar Singapura 27,63 persen dan yen Jepang 6,37 persen. Sementara itu, persentase penukaran mata uang dolar Australia 4,58 persen dan euro 4,3 persen. Sisanya, yakni 17,56 persen adalah mata uang lain-lain. S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News