Media Asuransi, JAKARTA – Pasar saham Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup tinggi sepanjang 2024. Sempat mengalami euforia setelah harga saham big bank mencatatkan all time high pada awal 2024, pelaku pasar langsung dibuat frustasi sepanjang Mei-Juni di tahun ini setelah IHSG turun delapan persen dalam sebulan.
Lalu, bagaimana prospek pasar saham di semester II/2024? Pelaku pasar menantikan kepastian penurunan suku bunga The Fed. Penurunan suku bunga bisa jadi titik balik pasar saham kembali bergairah.
Dari catatan Mikirduit, gerak IHSG sepanjang 2024 didorong saham-saham non-fundamental seperti PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN), PT Petrosea Tbk (PTRO), PT Amman Mineral International Tbk (AMMN), PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), termasuk PT Mayapada Hospital Tbk (SRAJ).
Sementara itu, saham berbobot besar ke IHSG dengan fundamental yang baik seperti saham big bank, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Astra International Tbk (ASII), dan lainnya cenderung tertekan. Kondisi pasar saham juga bisa dibilang kurang menarik karena rata-rata transaksi harian mayoritas selalu di bawah Rp10 triliun sepanjang 2024.
|Baca juga: OJK: Ada 3 Tantangan Besar Perusahaan Asuransi dalam Penerapan PSAK 117
Apalagi, penerapan full call auction di papan notasi khusus membuat investor sulit melihat gerak sektoral karena mayoritas mengalami koreksi. Penyebabnya, banyak saham yang tadinya tidur di Rp50 per saham, kini malah turun lebih dalam. Hasilnya, sektor yang menguat adalah yang didukung saham booming seperti Grup Prajogo Pangestu, AMMN, DSSA, hingga SRAJ.
Tren pasar saham
Founder Mikirduit Surya Rianto mengatakan tren pasar saham yang bisa dibilang sudah sideways sejak 2022 hingga saat ini adalah hal yang wajar ketika bank sentral melakukan transisi dari kebijakan suku bunga rendah menjadi tinggi. Hal itu membuat roda pertumbuhan ekonomi melambat, hasilnya kinerja bisnis juga mengalami perlambatan.
Dengan underlying saham adalah bisnis perusahaan, kondisi itu membuat prospek pasar saham kurang menarik. “Saat posisi suku bunga tinggi seperti saat ini, opsi investasi yang menarik justru ada di obligasi negara,” tuturnya, dikutip dari keterangan tertulisnya, Sabtu, 13 Juli 2024.
“Pasalnya, harga obligasi negara akan turun karena suku bunga bank sentral naik. Artinya banyak posisi obligasi yang murah dengan tingkat kupon tetap. Dengan begitu, investasi ke aset tersebut lebih memberikan kepastian cuan daripada saham yang justru dalam tekanan karena prospek bisnis yang melambat,” tambahnya.
Kondisi ini juga jadi jawaban bagi para investor yang mempertanyakan kenapa saham dengan fundamental bagus, harga sahamnya turun, tapi saham yang fundamentalnya tidak menarik malah naik.
|Baca juga: AAMAI: Acara The Forum Demi Wujudkan Industri Perasuransian yang Berkelanjutan
Sementara itu, 2024 bisa menjadi periode terakhir era suku bunga tinggi karena The Fed sudah memberikan ancang-ancang untuk menurunkan suku bunga jika inflasi Amerika Serikat (AS) terus turun hingga ke target sekitar dua persen.
Penurunan suku bunga menjadi obat mujarab untuk membuat gairah di pasar saham. Untuk itu, investor saham bisa bersiap mencari saham fundamental bagus yang posisi harganya sudah terdiskon. Dalam kondisi suku bunga tinggi seperti ini, ada cukup banyak saham fundamental bagus yang sudah terdiskon.
Sayangnya, tambahnya, investor kerap terbawa ke emosi psikologis saat melihat harga saham yang fundamental bagus, tapi harga sahamnya koreksi dalam. Padahal, jika dilihat kinerja keuangan dan prospeknya tidak ada perubahan fundamental signifikan, tapi hanya perlambatan kinerja sesuai kondisi makroekonomi dan tidak bisa dikontrol oleh manajemen emiten.
|Baca juga: OJK Awasi 15 Ribu Aset Industri Asuransi dan Dana Pensiun hingga Mei 2024
“Hal itu terjadi saat saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) ada di Rp4.000 per saham. Banyak yang waktu itu takut membelinya karena khawatir akan lanjut turun lebih dalam, tapi saat saham BBRI mulai menanjak ke Rp4.500-an, baru mulai beli. Padahal, posisi beli di Rp4.000 itu adalah posisi yang bagus,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News