Oleh: Dody AS Dalimunthe
Wakil Ketua AAUI untuk Bidang Information and Applied Technology
Dosen Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti
Wakil Ketua Komite Tetap Manajemen Risiko Bidang Sosial dan Penanggulangan Bencana KADIN Indonesia
UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengartikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan merusak harta benda, nyawa manusia, dan aktivitas manusia akibat bencana, baik bencana alam maupun non bencana alam. Potensi penyebab bencana dikelompokkan menjadi tiga jenis: bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial, yang disebabkan oleh manusia, kegagalan konstruksi/teknologi, ledakan nuklir dan pencemaran lingkungan. Sedangkan bencana sosial antara lain kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam masyarakat. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa lebih dari 90 persen kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, yaitu bencana yang dipengaruhi oleh cuaca dan aliran permukaan.
Regulasi tentang pengelolaan bencana pada prinsipnya adalah seperangkat alat kebijakan, aspek hukum, rencana aksi dan pembentukan kelembagaan untuk mengelola dan mengurangi dampak kerugian. Untuk itu dalam manajemen risiko bencana termasuk di dalamnya juga komunikasi untuk memberikan informasi yang efektif dan efisien kepada masyarakat. Manajemen risiko bencana tersebut mencakup langkah-langkah mitigasi risiko bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi atau pemulihan pasca bencana
Untuk wilayah Indonesia yang masuk dalam ring of fire bencana, maka banyaknya kejadian bencana besar membuat pemerintah berkomitmen mengubah paradigma manajemen risiko bencana dari tindakan darurat menjadi tindakan preventif dan juga dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua otoritas pemerintah ini yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan penanggulangan bencana dan memastikan masyarakat memiliki hak atas perlindungan sosial, kondisi aman, pendidikan, pelatihan dan keterampilan, termasuk memperoleh informasi mengenai kebijakan penanggulangan bencana, operasional dan berkelanjutan. Salah satu bentuk mitigasi risiko tersebut adalah skema asuransi bencana di Indonesia. Untuk saat ini bisa dibilang hampir seluruh penyelesaian dampak bencana masih menggunakan biaya darurat dari APBN, sehingga dipandang menggerus anggaran negara.
Menyadari hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menyusun strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) yang salah satunya adalah transfer risiko melalui asuransi untuk pembiayaan bencana yang jarang terjadi namun memberikan dampak kerugian besar. Saat ini yang sudah berjalan adalah Asuransi Barang Milik Negara (ABMN) melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 247/PMK.06/2016 yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara. Pemerintah juga meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana pada Agustus 2021.
Dalam penanganan bencana diperlukan mekanisme yang terintegrasi antara pemerintah dan perusahaan asuransi komersial dalam rangka keseimbangan anggaran negara dan peningkatan kapasitas industri asuransi. Karena adanya keterlibatan aspek hukum dan birokrasi dalam koordinasi penanganan penanggulangan bencana, maka skema asuransi tersebut akan lebih baik dicantumkan dalam undang-undang. Indonesia saat ini masih belum memiliki skema asuransi nasional untuk melindungi dampak kerugian yang terjadi dalam bentuk undang undang>
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebenarnya sudah sepakat untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan telah resmi membentuk panitia kerja yang dipimpin Ketua Komisi VIII DPR. Setidaknya ada tiga aspek yang mendorong usulan RUU Revisi UU Penanggulangan Bencana, yaitu aspek filosofis, di mana negara bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada warga negara jika terjadi bencana; aspek sosiologis, sebagai negara yang berada di wilayah rawan bencana, ditambah dengan adanya pandemi Covid-19, bencana menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, dan dampak psikologis yang dapat menghambat pembangunan nasional; aspek yuridis, bahwa UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah tak lagi sesuai dengan perkembangan kebencanaan saat ini, sehingga memerlukan penanggulangan bencana yang lebih terencana, terkoordinasi, dan terpadu.
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) sudah banyak melakukan diskusi juga dengan pemerintah, legislatif dan beberapa lembaga penelitian terkait dengan Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI), yang salah satu tujuannya adalah mendorong dicantumkannya skema asuransi wajib untuk risiko bencana dalam bentuk kerja sama semacam PPP (Public Private Partnership). Penekanan perlunya aspek hukum dalam menjalankan skema asuransi bencana inilah yang mendorong industri asuransi menghimbau kepada pemerintah dan DPR agar memasukkan mitigasi risiko bencana melalui asuransi ke dalam UU Revisi UU Penanggulangan Bencana, dalam Rancangan UU ini ternyata masih belum ada pasal yang menyebutkan hal tersebut. Namun di bulan April 2022, Rapat Paripurna DPR RI ke-24 masa persidangan V Tahun Sidang 2021-2022 memutuskan untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Bencana lantaran tidak tercapainya kesepakatan antara DPR RI dan pemerintah
Berkaca dari pengalaman beberapa negara dalam penanganan risiko bencana, skema asuransi sudah masuk dalam regulasi di negara tersebut. Jepang memiliki Japan Earthquake Reinsurance (JER) sebagai badan khusus yang dipercaya menangani asuransi untuk rumah hunian rawan, dengan keterlibatan pemerintah dan perusahaan asuransi dalam membayarkan kerugian akibat bencana gempa. Turki memiliki Trukey Catastrophe Insurance Pool (TCIP). Dan di Taiwan ada Taiwan Residential Earthquake Insurance Fund (TRIF) yang bertujuan memberikan perlindungan asuransi bagi pemilik rumah hunian warga.
Pengalaman ketiga negara tersebut telah menunjukkan kepada kita bahwa menggunakan mekanisme asuransi sebagai alat mitigasi akan memberikan beberapa manfaat dan nilai tambah daripada menggunakan APBN untuk dana darurat dan biaya rekonstruksi rehabilitasi bagi korban bencana. Dan untuk memberikan kepastian hukum mekanisme dan pelaksanaan yang terintegrasi, maka skema asuransi bencana perlu dilakukan secara compulsory dan dicantumkan dalam undang- undang.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News