1
1

Kemenkeu Klaim Pembiayaan APBN Tetap On Track, Ini Alasannya!

Gedung Kementerian Keuangan. | Foto: Media Asuransi/Arief Wahyudi

Media Asuransi, JAKARTA – Pemerintah secara aktif menjalankan belanja negara untuk memenuhi sasaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara konsisten, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk berbagai program prioritas dan mengelola keuangan negara secara bijak.

Meskipun demikian, adanya selisih antara pengeluaran negara dan penerimaan negara mendorong pemerintah untuk mencari sumber pembiayaan tambahan. Oleh sebab itu, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan penarikan pinjaman menjadi instrumen pembiayaan yang efektif untuk menutup defisit anggaran dan menjalankan roda pembangunan.

|Baca juga: Wisma BCA Foresta Raih Sertifikat Green Mark Super Low Energy Building Pertama di Indonesia

|Baca juga: R&I Pertahankan Credit Rating di Level BBB+, Begini Kata Sri Mulyani!

Melalui pengelolaan utang yang cermat, pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN dan membangun pasar SBN domestik. Penerbitan SBN dan penarikan pinjaman dilakukan secara efisien, seimbang antara biaya dan risiko, serta akseleratif mendukung peran APBN sebagai peredam guncangan dan menjaga momentum pertumbuhan.

Pemenuhan target pembiayaan tetap on-track dengan cost of fund yang terkendali. Per 31 Agustus 2024, dari desain pembiayaan anggaran APBN 2024 yang ditetapkan sebesar Rp522,8 triliun, telah terealisasi sebesar Rp291,9 triliun.

|Baca juga: BHMS Fokus Bangun Ekosistem Layanan Kesehatan Keluarga Holistik

|Baca juga: Pembiayaan Berkelanjutan CIMB Niaga Mencapai Rp56,4 Triliun

Seiring pertumbuhan ekonomi yang positif, tren rasio utang pascapandemi pun terus menurun. Dari 40,73 persen terhadap PDB di 2021 menjadi 39,70 persen di 2022; 39,21 persen di 2023; dan 38,49 persen PDB per Agustus 2024. Rasio utang Indonesia juga tercatat relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan dan global.

“Kita tentu dalam berutang tidak cuma besaran saja yang kita cermati atau kita kelola. Tapi juga risikonya harus sesuai,” ujar Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Riko Amir, dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis, 3 Oktober 2024.

Riko menambahkan risiko utang pemerintah berada dalam kondisi terkendali dan terkelola baik. Hal ini setidaknya dapat terlihat dari pengelolaan risiko nilai tukar dan jatuh tempo. Nilai tukar menjadi salah satu risiko yang patut diwaspadai karena komposisi utang valas pemerintah sebelum 2019 sangat tinggi.

Namun, pemerintah berhasil terus menurunkan porsi utang dengan mata uang valas terhadap total outstanding utang. Dari 37,9 persen porsi utang valas di 2019, berhasil terus diturunkan menjadi hanya 27,9 persen per Agustus 2024.

|Baca juga: Asuransi Sinar Mas Bayar Klaim Hole In One Capai Rp1,4 Miliar Per September 2024

|Baca juga: Bukit Asam (PTBA) dan 3 Bank Himbara Teken MoU Fasilitas Pemanfaatan DHE SDA

“Jika terjadi kenaikan nilai tukar, kita terdampak tapi tidak langsung collapse gitu ya. Karena ada 27,9 persen saja yang terdampak, sisanya (72,1 persen tidak terdampak karena) dalam porsi rupiah,” ungkap Riko.

Selain itu, pemerintah konsisten juga menjaga defisit APBN dalam batas aman. Hingga 2019, defisit terjaga di bawah tiga persen terhadap PDB.

|Baca juga: 2 Perusahaan Asuransi Mau Tutup, Regulasi Ketat Jadi Biang Keroknya?

|Baca juga: 52 Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Terbaik di 2024

Di masa pandemi covid-19 meskipun defisit melebar hingga 6,1 persen PDB untuk membiayai penanganan pandemi, dengan pengelolaan APBN yang prudent, fleksibel, dan responsif, defisit mampu kembali lebih cepat dari yang direncanakan, ke level 2,35 persen PDB.

Dan terus membaik hingga mencapai 1,61 persen PDB di 2023. Untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, defisit 2025 didesain dalam batas yang dapat dikendalikan di kisaran 2,53 persen.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Kinerja Premi Asuransi di Hong Kong Kembali saat Sebelum Pandemi, Apa Dampaknya?
Next Post Ada 3 Tantangan Stabilitas Sistem Keuangan Terjaga yang Perlu Diatasi

Member Login

or