Media Asuransi, JAKARTA – President Director Sompo Insurance Indonesia Eric Nemitz menyebutkan terdapat empat pendorong utama inflasi kesehatan di Indonesia. Sedangkan salah satu faktor utama yang mendorong kenaikan biaya asuransi kesehatan di Tanah Air adalah inflasi kesehatan global.
Nemitz, dalam paparannya di Indonesia Rendezvous ke-28 yang digelar di Bali, Jumat, 11 Oktober 2024, menyebutkan empat pendorong utama inflasi kesehatan di Indonesia yang dimaksudkan yakni pertama kemajuan teknologi medis memicu peningkatan biaya perawatan.
|Baca juga: Prabowo Panggil 49 Calon Menteri, Berikut Deretan Lengkapnya!
|Baca juga: Profil Sri Mulyani, Calon Menkeu di Era Prabowo yang Punya Jam Terbang Tinggi
Kedua, kurangnya integrasi antara layanan kesehatan primer, spesialisasi, dan fasilitas kesehatan. Ketiga, penggunaan layanan kesehatan yang berlebihan. Keempat meningkatnya penyakit akibat gaya hidup tidak sehat dan kondisi kronis. Kesemua faktor ini patut diwaspadai dan dimitigasi risiko sebaik mungkin.
PT Perta Life Insurance (PertaLife Insurance) mempunyai cara tersendiri untuk mengantisipasi dampak dari kenaikan inflasi kesehatan di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan adanya modifikasi produk kesehatan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) di 2024.
“Di dalam RKAP kita tahun ini, sudah kita masukkan adanya modifikasi dari produk (kesehatan) yang saat ini ada. Supaya kita bisa mengakomodir inflasi medis tersebut,” jelas Senior Actuary PertaLife Insurance Joko Suwaryo.
|Baca juga: Sosok Veronica Tan, Mantan Istri Ahok yang Dipanggil Prabowo Subianto
|Baca juga: Singapura Batalkan Aksi Akuisisi Income-Allianz, Apa Alasannya?
Joko menjelaskan terdapat dua segmen asuransi kesehatan yakni individu dan kumpulan. Sedangkan segmen individu dinilai yang akan terkena dampak tertinggi dari inflasi medis tersebut. “Inflasi medis yang tertinggi, yang terdampak itu adalah di asuransi individu tadi,” tegas Joko.
Di sisi lain, IFG Progress memberikan peringatan kepada perusahaan asuransi untuk memberikan perhatian terhadap fenomena inflasi kesehatan di Indonesia yang berisiko meningkatkan klaim asuransi kesehatan. Untuk mengatasi dampak negatif inflasi kesehatan yang tinggi, pelaku industri asuransi kesehatan perlu memperkuat pengelolaan risiko bisnis.
Dalam Economic Bulletin–Issue 52 bertajuk ‘Ancaman Inflasi Kesehatan terhadap Industri Asuransi Kesehatan’, Tim Riset IFG Progress mengemukakan inflasi kesehatan yang tinggi berdampak langsung pada peningkatan out of pocket health expenditure, yaitu biaya yang harus ditanggung sendiri oleh masyarakat.
|Baca juga: Ketua Umum AAUI Prediksi Kinerja Industri Asuransi Bakal Cerah di 2025
|Baca juga: Mau Coba Investasi Properti untuk Cari Cuan? Coba Baca Informasi Berikut Ini!
Out of pocket health expenditure yang tinggi berpotensi mendorong rumah tangga ke dalam kemiskinan, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah tanpa akses asuransi kesehatan yang layak. Hal ini menjadi tantangan besar bagi banyak negara berkembang, termasuk negara-negara ASEAN-5.
Data inflasi kesehatan menunjukkan di Indonesia, tingkat inflasi kesehatan secara konsisten lebih tinggi daripada inflasi umum, dengan angka inflasi kesehatan di atas 12 persen. Sementara inflasi umum hanya 5,51 persen.
|Baca juga: OJK Klaim Berikan Waktu Cukup untuk Industri Asuransi Tingkatkan Modal Minimum, Apa Iya?
|Baca juga: Curi Perhatian Dunia, AAUI Harap Indonesia Rendezvous 2024 Dorong Industri Asuransi Tumbuh Berkelanjutan
Fenomena tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut mengingat dampaknya yang dapat mendorong kenaikan klaim asuransi kesehatan sehingga berpotensi membebani industri asuransi jika tidak diimbangi dengan pengelolaan risiko yang baik.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News