Media Asuransi, JAKARTA – Risk Based Capital (RBC) merupakan salah satu indikator yang menggambarkan kesehatan keuangan perusahaan asuransi.
Dikutip dari Economic Bulletin-Issue 48 bertajuk “RBC Regime di Beberapa Negara Asia” yang diterbitkan oleh IFG Progress dikutip, Minggu, 8 September 2024, secara umum RBC merupakan sebuah konsep ekonomi dimana perusahaan asuransi memiliki sejumlah modal yang dianggap optimal atau diperlukan dengan mempertimbangkan profil risiko bisnisnya.
Dalam konteks perasuransian, indikator RBC biasa juga digunakan sebagai tingkat solvabilitas yang mengukur tingkat kesehatan keuangan suatu perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajibannya di masa depan.
|Baca juga: Perusahaan Asuransi Asia Beralih ke Bisnis Kredit Swasta di Tengah Aturan RBC Baru
RBC bermula dari tahun 1980-an dan pertama kali diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya, pada tahun 1990-an, RBC mulai diadopsi oleh beberapa negara di Asia. Jepang merupakan pelopor yang mengimplementasikan RBC pertama di Asia pada tahun 1996, kemudian diikuti oleh Indonesia pada tahun 1999 dan selanjutnya oleh sebagian besar negara-negara Asia lainnya, termasuk Taiwan (2003), Korea (2011), Thailand (2011), dan Hong Kong (2023).
RBC ditetapkan sebagai indikator keuangan yang wajib dilaporkan oleh perusahaan asuransi jiwa dan umum dalam laporan keuangan, dengan batas modal minimum yang harus dimiliki sesuai dengan nilai risiko yang dihadapi.
RBC juga berperan sebagai early warning system bagi regulator untuk mengawasi kinerja perusahaan asuransi dan memungkinkan intervensi cepat saat modal turun di bawah tingkat yang ditentukan.
Sebagian besar negara-negara di Asia mengikuti regime Risk-Based Capital (RBC) sebagai pengukuran kecukupan modal perusahaan asuransi dengan regulasi yang cukup kompleks dan beragam di setiap negara.
|Baca juga: Penerapan IFRS 17 Bakal Ubah Standar RBC Industri Asuransi Indonesia?
Korea Selatan dan Jepang saat ini sedang memperkenalkan regime solvabilitas baru dengan kerangka permodalan yang didasarkan pada nilai ekonomi (economic value-based) dan efektif berlaku sejak 2023 di Korea Selatan dan berlaku efektif mulai dari April 2025 di Jepang.
Singapura merupakan salah satu negara Asia yang cukup aktif melakukan peninjauan dan pengembangan RBC pada industri Asuransi. Pada tahun 2020 Singapura telah mengimplementasikan ketentuan RBC 2 dengan menambahkan berbagai aspek yang belum dicakup pada RBC pertama seperti persyaratan stress testing, ALM, dan pembentukan komite risiko.
Setiap negara yang mengikuti rezim RBC sebagai pendekatan kecukupan modal perusahaan asuransi jiwa, memiliki ambang batas rasio RBC yang berbeda-beda. Tingkat solvabilitas minimum yang harus dipenuhi setiap perusahaan asuransi di Indonesia berdasarkan Peraturan OJK Nomor 71/POJK.05/2016 paling sedikit sebesar 120%.
Thailand memiliki ambang batas rasio solvabilitas sebesar 140%. Namun beberapa negara seperti Singapura, Korea Selatan, dan Hong Kong memiliki ambang batas rasio solvabilitas hanya pada level 100%, dan beberapa negara lain seperti Jepang dan Taiwan yang memiliki ambang batas rasio solvabilitas yang cukup tinggi yaitu 200%.
Sebagian besar industri asuransi jiwa di beberapa negara Asia memiliki rata-rata rasio solvabilitas dalam kisaran 120%-350%, terkecuali untuk Jepang, Thailand, dan Indonesia yang memiliki rata-rata tingkat solvabilitas dengan kisaran yang lebih tinggi hingga mencapai 600% untuk Jepang, 500% untuk Thailand, dan 700% untuk Indonesia.
Editor: Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News