Media Asuransi, JAKARTA – Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro, berharap Angota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2022-2027 memiliki kemampuan memahami dampak dari keputusan yang dibuatnya. Mereka diharapkan bisa turun ke lapangan, agar tidak salah mengambil keputusan, karena dasar data analytic yang dipakai ternyata menangkap variabel yang lain.
Apalagi saat ini, pengaruh teknologi digital, mendominasi di industri keuangan, bisnis dan investasi. “Ini dunianya sudah sedemikian maju, Komisioner OJK harus tumbuh juga beyond the curve,” ujar Ari, dalam webinar “Mencari Nakhoda Baru OJK di Tengah Digitalisasi Keuangan dan Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi” Kamis, 10 Februari 2022.
Menurut professor ekonomi dari UI ini, penting buat pengambil keputusan untuk menganalisa berdasarkan data analytic yang beragam. Saat ini tipologi yang berkembang, menuntut pengambilan keputusan yang lebih modern, dengan data. “Namanya evidence based. Tapi datanya itu diperoleh tak hanya dari FGD (focus group discussion), juga dari data analytic. Jadi perlu manajer yang bisa menentukan, sebetulnya informasi yang relevan itu, apa,” jelasnya.
|Baca juga: Masyarakat Diminta Beri Masukan Rekam Jejak Calon Anggota DK OJK 2022-2027
Ari Kuncoro menuturkan bahwa saat sudah berada pada beberapa tingkat keputusan organisasi, bisa dilihat data analytic sangat berguna, membuat kemampuan connecting the dot, menjadi sangat penting. “Di dalam OJK itu, mikro sebetulnya. Dia berhubungan langsung dengan perilaku,” katanya.
Oleh karena itu, dia tambahkan, kemampuan memahami perilaku di lapangan, juga penting bagi seorang pemimpin di OJK. “Katakanlah di situ, OJK dari akademisi, tapi tidak bisa turun ke lapangan, bisa ada kemungkinan data analytic itu menangkap variabel yang lain. Bisa beda. Karena itu, harus ada teamwork, collegial leadership,” tuturnya.
Pembicara lainnya, Ketua Presidium Dewan Asosiasi Pelaku Reksa Dana dan Investasi Indonesia, Prihatmo Hari Mulyanto, menambahkan bahwa pimpinan OJK berikutnya, mesti memahami masalah yang muncul, baik perubahan digitalisasi keuangan maupun tradisional. Soal keuangan digital, Hari mencontohkan fenomena pinjaman online. “Ibarat pisau bermata dua. Kebijakan bagus, tapi pengawasan tidak bagus, pelakunya tidak terseleksi, maka akhirnya mencelakakan masyarakat,” katanya.
Dia tambahkan, selain paham perilaku yang terdampak kebijakan, sosialisasi kebijakan juga mesti lebih komunikatif. “Memanfaatkan jasa profeisonal dengan teknologi komunikasi yang efektif. Peningkatan fokus produk dengan literasi dan inklusif,” ujar Hari.
Hari berharap, komisioner OJK merupakan kombinasi birokrat dan profesional yang senior. “Karena kami melihat banyak pelanggaran yang modusnya makin aneh-aneh, pintar. Jadi kalau hanya di birokrat tidak dapat melihat yang terjadi. Kalau profesional bisa mendeteksi di awal. Sehingga pelanggaran dapat diketahui. Dan ada efek jera dengan penegakan hukum,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perbanas, Eka Sri Dana Afriza, mengatakan bahwa dengan massifnya teknologi informasi di bidang keuangan, maka pemimpin OJK mesti memahami masyarakat yang saat ini akrab dengan hal-hal yang bernuansa digital. “Namun yang penting diketahui adalah prinsipnya manusia yang menjalankan teknologi. Tidak perlu gadget freak, biasa saja tidak apa-apa, asal timnya kuat,” katanya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

