Media Asuransi, JAKARTA – Laporan Survei Sustainability Executives yang diterbitkan Zurich Indonesia, menyebutkan bahwa perus perahaan-perusahaan di Indonesia menunjukkan komitmen yang kuat terhadap perubahan iklim. Hal ini terlihat dari 100 persen responden menyatakan telah memiliki rencana transisi dan 97 persen telah menetapkan target untuk mengurangi emisi karbon ke net-zero.
“Hal ini terutama didorong oleh advokasi dari investor dan dorongan untuk mendapatkan keuntungan bisnis,” kata Budi Darmawan, Sustainability Country Lead Zurich di Indonesia, dalam keterangan resmi, Senin, 16 Oktober 2023.
Survei Sustainability Executives dilakukan di 15 negara dengan mengumpulkan tanggapan dari hampir 700 pejabat eksekutif, mengenai dorongan strategi mereka saat ini dan yang telah direncanakan perusahaan terkait mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Survei ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di seluruh sektor dan di seluruh dunia berkomitmen untuk mencapai net-zero, dan mereka telah mulai melaksanakan rencana transisi jangka pendek namun masih ada tantangan untuk dapat mempercepat hal ini, karena pemerintah dan swasta sama-sama berperan penting.
Survei dilakukan pada bulan April dan Mei 2023 terhadap 668 bisnis di Amerika Utara (Kanada, Amerika Serikat), Amerika Latin (Brasil, Meksiko), Eropa, Timur Tengah dan Afrika (Prancis, Jerman, Afrika Selatan, Spanyol, Swiss, Inggris, UEA), dan Asia-Pasifik (Australia, China, Indonesia).
Responden terdiri atas perusahaan dengan pendapatan tahunan lebih dari US$100 juta dan merupakan tingkat senior dan eksekutif yang memiliki tanggung jawab terkait keberlanjutan dalam perusahaannya. Mereka mewakili enam sektor yakni pertanian, barang konsumsi, energi, minyak dan gas, jasa keuangan, manufaktur alat berat, dan transportasi.
Di enam sektor industri, pada tingkat global, survei ini menemukan bahwa sebagian besar lembaga keuangan dan perusahaan energi telah memiliki rencana langkah net-zero, yakni 88 persen lembaga keuangan dan 85 persen perusahaan energi. Sektor-sektor ini sangat penting untuk memfasilitasi aksi mitigasi yang lebih luas dan telah menjadi fokus kebijakan publik.
Sektor industri manufaktur berat, barang konsumsi, dan pertanian juga tidak ketinggalan dengan persentase sedikit di bawah 80 persen. Sedang yang paling rendah adalah sektor transportasi, yakni hanya 37 persen yang menyatakan bahwa mereka telah menyiapkan rencana.
|Baca juga: Zurich Topas Life Luncurkan Produk Baru, Zurich Plan Protector
Menurut Budi Darmawan, riset ini dilakukan untuk memberi wawasan penting tentang bagaimana berbagai perusahaan di berbagai wilayah dan sektor melakukan pendekatan terhadap perubahan iklim, perkembanganya, tantangannya, dan bagaimana kita dapat mempercepat transisi menuju net-zero. “Kami melihat perubahan iklim sebagai salah satu risiko paling kompleks di zaman ini karena ini merupakan risiko lintas negara, lintas generasi, serta merupakan masalah yang saling ketergantungan dengan dampak terhadap seluruh sektor industri,” jelasnya.
Namun, secara global, hambatan terbesar dalam mengembangkan rencana net-zero –yang disebutkan oleh 50 persen perusahaan secara keseluruhan– adalah biaya dan skala modal. Hal ini diikuti oleh tiga hambatan terkait, yaitu kurangnya solusi teknologi yang memadai, tantangan regulasi, dan kesulitan dalam pengukuran dan pemantau dampak.
Sejalan dengan temuan pada tingkat global, tantangan utama dalam mengembangkan rencana di Indonesia adalah kurangnya solusi teknologi yang memadai serta biaya dan skala modal. Namun kurangnya keterampilan juga disebut sebagai salah satu dari tiga tantangan utama yang dihadapi oleh para pimpinan keberlanjutan di Indonesia.
Industri asuransi juga dilihat mampu mendukung perusahaan-perusahaan dalam berbagai langkah transisi menuju net-zero. Setidaknya 77 persen level pimpinan di Indonesia meminta dukungan terkait kebijakan dan 67 persen meminta bantuan terkait manajemen risiko.
Laporan ini menyimpulkan bahwa diperlukan lebih banyak lagi dukungan investasi dan insentif untuk membantu perusahaan-perusahaan, baik besar maupun kecil, dalam menanggung biaya investasi teknologi untuk memenuhi ambisi ini, seperti beralih ke energi terbarukan, armada kendaraan listrik, memperbarui bangunan agar hemat energi, dan mendukung pendataan dan pengukuran. Untuk inovasi-inovasi yang terukur dan aplikasi yang cepat, dibutuhkan kolaborasi antarpelaku industri serta pemerintah-swasta dalam penelitian dan pendanaan.
“Para penulis laporan survei ini berpendapat bahwa kombinasi insentif keuangan dan mandat pemerintah merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan skala teknologi dan merekomendasikan tiga langkah prioritas, yaitu menciptakan kepastian dalam kebijakan, membuka aliran pendanaan dan inisiatif ekonomi. Serta untuk melakukan mempercepat inovasi atau turbo-charge,” kata Darmawan.
Dia tambahkan bahwa perubahan iklim merupakan isu yang memerlukan tindakan segera dan kolaborasi yang kuat. “Kami berkomitmen untuk memimpin langkah mengatasi perubahan iklim, Zurich akan terus berperan aktif dalam mencari solusi dan berkolaborasi dengan para pelaku bisnis juga komunitas untuk mendorong dampak yang penting,” tuturnya.
Untuk meningkatkan perhatian dan dukungan dari para pemimpin bisnis dan pemimpin opini, Zurich akan menggaungkan temuan penelitian ini pada Conference of the Parties on Climate Change (COP 28) di Dubai pada tanggal 30 November hingga 23 Desember 2023.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News