1
1

Menuju Penerapan IFRS 17 di Indonesia 2025: Pelajaran Implementasi dari Jurisdiksi Lain

pengamat industri asuransi, Akademisi Universitas Padjadjaran Ersa Tri Wahyuni. | Foto: Ersa Tri Wahyuni

Oleh: Ersa Tri Wahyuni, PhD

 

Industri asuransi di Indonesia sedang berderap kencang mempersiapkan diri untuk menerapkan IFRS 17 pada tanggal 1 Januari 2025. OJK sebagai regulator juga berusaha keras untuk mendorong implmentasi standar akuntansi baru ini dengan meminta laporan demi laporan yang memberikan informasi kesiapan perusahaan. Semester II/2024, sebagai tahun transisi, adalah waktu yang sangat penting bagi industri asuransi di Indonesia karena dituntut untuk dapat melakukan implementasi secara paralel antara standar akuntansi baru dan lama.

Industri asuransi di Indonesia sebenarnya memiliki waktu yang cukup untuk persiapan, karena Indonesia mengambil tahun penerapan yang lebih terlambat dari dunia internasional. Alasan utama Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) memutuskan untuk mengadopsi IFRS 17 Insurance Contract dua tahun terlambat dari dunia internasional, adalah agar industri memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri dan belajar dari pengalaman penerapan di negara lain.

Bukan hanya perusahaan asuransi yang perlu menyiapkan diri, tapi juga industri kantor jasa akuntan publik, kantor konsultan aktuaria, dan komunikasi kepada para pemangku kepentingan lainnya termasuk investor dan otoritas perpajakan.

|Baca juga: AAJI Gelar Seminar Pada Convention TAA AAJI

Eropa, Australia, dan negara tetangga telah mengadopsi IFRS 17 pada 1 Januari 2023 sehingga pada tahun 2024 ini mereka telah memiliki pengalaman penerapan tahun pertama (2023) dan tahun transisi sebelumnya (2022). Bagaimana penerapan IFRS 17 di jurisdiksi-jurisdiksi tersebut? Apa yang dapat kita pelajari dari mereka agar persiapan Indonesia menerapkan PSAK 117 akan lebih baik lagi? Artikel ini memberikan rangkuman apa saja yang dapat kita pelajari dari jurisdiksi lain.

Implementasi IFRS 17 di Uni Eropa

Eropa memiliki industri asuransi yang jauh lebih matang dibandingkan di Indonesia. Beberapa asuransi di Eropa banyak yang sudah berusia lebih dari 100 tahun (misalnya Generali di Italia yang didirikan 1831 atau Allianz dari Jerman yang didirikan 1890). Perusahaan asuransi di Eropa juga mewarnai perusahaan asuransi multinasional di seluruh dunia dengan cabangnya juga beroperasi di Indonesia.

European Union mengadopsi IFRS 17 dengan pengecualian yaitu pilihan untuk tidak mengadopsi “annual cohort requirements” bagi kontrak asuransi jiwa tertentu (intergenarally-mutualised contract) karena dianggap tidak terlalu bermanfaat dan terlalu kompleks untuk dilaksanakan. Sekitar 80 persen kontrak asuransi jiwa di Australia dan lebih dari 70 persen di negara Eropa lainnya termasuk dalam jenis kontrak tersebut. Keputusan yang berbeda dengan IASB (International Accounting Standard Board) tersebut diambil oleh Uni Eropa pada tahun 2020 setelah melakukan studi dan survei yang cukup komprehensif. Sebanyak 47 persen dari responden mengambil opsi kemudahan ini dengan tidak melakukan annual cohorting requirements.

|Baca juga: Jumlah Pengguna LRT Jabodebek Naik Usai Penambahan Perjalanan

Laporan survei EIOPA (European Insurance and Occupational Pensions Authority) yang diisi oleh 53 grup asuransi di 11 negara Eropa memberikan gambaran yang cukup menarik mengenai penerapan IFRS 17. Perusahaan menjawab survei EIOPA berdasarkan laporan keuangan tengah tahunan 2023 yakni enam bulan sejak IFRS 17 diterapkan di Eropa. Sebanyak 46 persen perusahaan mengalami penurunan ekuitas karena adopsi IFRS 17 dan hanya 28 persen yang mengalami peningkatan, sementara sisanya 26 persen tidak mengalami perubahan berarti.

Tantangan terbesar dalam adopsi IFRS 17 di Eropa adalah mengenai ketersediaan data, terutama karena IFRS 17 meminta pengelompokan data yang lebih detail dan kecil. Hal ini juga menjadi tantangan besar di Indonesia, karena banyak data data yang bersifat agregat dan harus dipecah menjadi kelompok yang lebih kecil. Tantangan kedua berikutnya adalah membangun sistem IT yang terintegrasi dengan divisi-divisi lainnya. Tantangan kedua ini juga banyak dialami oleh perusahaan di Indonesia berdasarkan laporan survei dari KPMG Indonesia.

|Baca juga: OJK Terbitkan Aturan Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Lembaga Jasa Keuangan

Model pengukuran kontrak asuransi di Eropa bergantung pada model bisnisnya, karena asuransi yang umum (non-life) sebanyak 90,4 persen menggunakan PAA (Premium Allocation Approach). Sementara itu 86,4 persen perusahaan asuransi jiwa menggunakan VFA. Untuk asuransi Kesehatan, hampir 60 persen menggunakan model VFA.

Asuransi umum di Eropa mayoritas menggunakan model PAA karena memang model pengukuran ini lebih mudah untuk diterapkan. Hal ini sedikit berbeda dengan Indonesia, karena asuransi umum banyak yang memilih menggunakan GMM (General Measurement Model) yang lebih rumit. Walaupun PAA bersifat opsional pada IFRS 17, kemudahan yang ditawarkan oleh PAA dibandingkan GMM tampaknya membuat perusahaan-perusahaan di Eropa lebih memilih model ini.

|Baca juga: 4 Saham Prospek Cerah yang Wajib Masuk Radar Hari Ini

Mayoritas perusahaan asuransi (85 persen) di Eropa menggunakan ‘bottom upapproach di dalam menentukan suku bunga yang digunakan. Mayoritas perusahaan juga memilih menggunakan opsi OCI untuk penyesuaian dari perubahan suku bunga setiap tahunnya. Pengguna model GMM dan VFA sebanyak 67 persen dan 63 persen responden memilih membukukan penyesuaian akibat perubahan suku bunga ke OCI. Namun untuk pengukuran risk adjustment IFRS 17 tidak mensyaratkan suatu metode tertentu sehingga ada beberapa metode yang digunakan dengan metode VaR (Value at Risk) dan CoC (Cost of Capital) yang paling popular.

 

Pelajaran IFRS 17 dari Inggris

FRC (Financial Reporting Council) United Kingdom juga membuat laporan evaluasi dari penerapan enam bulan pertama dari IFRS 17 di Inggris. FRC UK menyoroti kurangnya pengungkapan yang lebih ‘company-specific’ karena terkesan banyak pengungkapan lebih menyerupai template dan terlalu umum. Terutama untuk pengungkapan yang melibatkan pertimbangan professional dan asumsi asumsi, seperti misalnya kebijakan transisi dan kebijakan penghitungan risk adjustment, FRC merasa masih perlu ditingkatkan lagi kualitasnya.

|Baca juga: OJK Dorong Penguatan Transparansi dan Inklusi Keuangan Pasar Modal

FRC UK juga mengomentari minimnya pengungkapan mengenai dampak perpajakan atas penerapan IFRS 17 ini di Inggris. Menurut FRC, apabila dirasakan dampak terhadap perpajakan akan bersifat material maka seharusnya diungkapkan oleh perusahaan. Informasi mengenai ketentuan transisi juga menjadi sorotan. FRC merasa masih kurangnya pengungkapan dampak dari setiap ketentuan transisi yang dipilih terhadap CSM. Berdasar laporan FRC, hanya ada satu perusahaan yang mengungkapkan rekonsiliasi CSM berdasar ketentuan transisinya, padahal hal ini diminta oleh IFRS 17 paragraf 114.

Kesulitan penerapan IFRS 17 di Australia dan New Zealand

Dewan Standar Akuntansi Australia (AASB) melakukan Post Implementation Review dari IFRS 17 dengan melakukan belanja masalah atas penerapan standar ini di Australia dan New Zealand. Masalah utama yang dilaporkan di Australia dan New Zealand adalah kebingungan untuk menerapkan batasan kontrak terutama untuk kontrak asuransi dan reasuransi milikan yang memiliki opsi untuk menghentikan kontrak yang dapat dilakukan setiap hari.

|Baca juga: OJK Perkuat Kerja Sama dengan Hong Kong Monetary Authority

Kesulitan lain yang dihadapi adalah mengenai bagaimana mengalokasikan CSM untuk kontrak yang lapsed. Apakah CSM bagian yang lapsed segera diakui pada saat terjadinya atau keseluruhan CSM nya dihitung ulang untuk diamotisasi kembali sepanjang batasan kontrak.

Epilogue

Standar akuntansi internasional IFRS 17 atau di Indonesia PSAK 117, bukan standar yang mudah untuk diterapkan. Bahkan di negara negara maju yang industri asuransinya telah lebih matang, kesulitan dan tantangan atas penerapan standar akuntansi ini terpantau jelas. Namun standar akuntansi ini menjanjikan akuntabilitas dan transparansi yang lebih baik, dan itu diakui oleh para regulator dan bahkan oleh para pelaku industri asuransi itu sendiri di negara-negara maju.

|Baca juga: QRIS dan blu by BCA Digital Sediakan Solusi Keuangan untuk Generasi Digital

Semua proses untuk naik kelas, membutuhkan suatu ujian berat. Tulisan ini untuk mengingatkan Indonesia dan membesarkan hati para pelaku industri, termasuk juga industri profesi pendukung seperti akuntan publik dan aktuaris, agar tidak berkecil hati pada masa transisi ini. OJK dan otoritas perpajakan juga harus bahu membahu mendukung penerapan IFRS 17 di Indonesia dengan menyelaraskan aturan sehingga tidak menambah beban para penyusun laporan keuangan.

Penulis adalah pengamat industri asuransi, Akademisi Universitas Padjadjaran

Beberapa bagian dari tulisan ini dipresentasikan penulis pada Indore International Conference 2024, 24 Juli 2024

 

Daftar referensi

https://kpmg.com/id/en/home/insights/2024/05/id-psak-117-implementation.html

https://www.eiopa.europa.eu/publications/report-implementation-ifrs-17-insurance-contracts_en

https://media.frc.org.uk/documents/IFRS_17_Insurance_Contracts_Interim_Disclosures_in_the_First_Year_of_Application.pdf

https://aasb.gov.au/media/cgnhkajl/att3_ifrs17pir_mar24.pdf

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Taman Kusuma Bangsa di IKN Diresmikan, Jokowi: Penghormatan kepada Para Pahlawan!
Next Post CIMB Niaga Utamakan Customer Experience Nasabah di Manado

Member Login

or