Media Asuransi, GLOBAL – Di tengah meningkatnya ancaman siber, hanya 24 persen eksekutif di Singapura yang menganggap risiko siber sebagai kekhawatiran utama mereka di 2024. Selain itu, 24 persen bisnis di Singapura berencana berinvestasi dalam keamanan siber, dan 20 persen mempertimbangkan asuransi yang mencakup layanan manajemen risiko dan krisis.
Sekitar 76 persen eksekutif Singapura merasa pertahanan siber mereka sudah memadai. Namun, tingkat kesiapan terus meningkat, dengan 83 persen pemimpin bisnis di Singapura merasa lebih tangguh menghadapi risiko siber tahun ini, naik dari 78 persen pada 2023, menurut laporan Beazley ‘Spotlight on Cyber & Technology Risk 2024‘.
|Baca juga: Siap Mendunia! Bank Mandiri Perluas Akses Livin’ di Turki
|Baca juga: Profil Jeffry Haryadi Manullang yang Jadi Dirut Baru Asabri
“Ketika para penjahat siber semakin mengasah teknik mereka, bisnis di kawasan APAC semakin terpapar. Meski data kami menunjukkan para pemimpin bisnis merasa lebih siap, banyak yang mungkin lengah terhadap bahaya yang ada,” ujar Underwriter, Cyber Risks, APAC, Beazley Teck Siong Ng, dikutip dari Insurance Asia, Rabu, 11 September 2024.
Ng juga memperingatkan tentang ancaman yang terus berkembang dan harus segera ditangani oleh bisnis.
“Contohnya, meskipun kecerdasan buatan (AI) menawarkan peluang bagi para kriminal siber, AI juga akan membawa perubahan besar bagi masyarakat. Sebanyak 80 persen pemimpin bisnis di APAC setuju AI akan menggantikan pekerjaan di perusahaan mereka, jadi potensi AI tidak boleh diremehkan,” tuturnya.
AI kini menjadi fokus utama, dengan 26 persen bisnis di Singapura berencana berinvestasi dalam teknologi ini untuk meningkatkan ketahanan mereka.
|Baca juga: Generali Indonesia Bayarkan Klaim Rp4,5 Miliar ke Nasabah di Semarang
|Baca juga: Jumlah Asuransi Syariah Akan Berkurang 13
Namun, 80 persen pemimpin bisnis juga percaya AI akan menggantikan pekerjaan di perusahaan mereka. AI juga memperkuat ancaman siber, di mana hacker menggunakan AI untuk menyempurnakan taktik phishing dan mengembangkan teknik baru seperti deepfake.
Kepunahan teknologi menjadi kekhawatiran lain, dengan 29 persen pemimpin bisnis Singapura menyebutnya sebagai ancaman terbesar. Sementara itu, 16 persen merasa tidak siap mengelola risiko teknologi yang sudah usang.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News