Media Asuransi, GLOBAL – Bank-bank di Asia Pasifik mulai melihat perubahan iklim sebagai risiko finansial yang berdiri sendiri, terpisah dari agenda Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) yang lebih luas. Ini dipicu oleh peningkatan kejadian cuaca ekstrem seperti banjir, kebakaran, dan siklon yang semakin sering terjadi.
|Baca juga: Rencana Penerbitan Sukuk Mudharabah Rp2 Triliun PNM Diganjar Peringkat idAA+(sy)
Climate Risk Advisory Lead–Analytics APAC Aon Tom Mortlock mengatakan institusi keuangan dan aliran kredit adalah kunci pertumbuhan ekonomi di Asia. Akan tetapi asuransi sebagai pendukung yang mampu mengurangi risiko dalam pemberian pinjaman juga terbilang cukup penting.
“Sayangnya, kesenjangan asuransi di Asia adalah salah satu yang terbesar di dunia, dengan hanya 14 persen dari kerugian ekonomi yang ditanggung oleh asuransi pada 2023. Ini membuat pemberian pinjaman di daerah berisiko tinggi iklim menjadi aktivitas yang berpotensi bergejolak,” ujar Mortlock, dikutip dari Insurance Asia, Kamis, 29 Agustus 2024.
|Baca juga: Profil Pramono Anung Usai Diusung PDIP sebagai Cagub Jakarta
|Baca juga: KPK Langsung Tahan 2 Tersangka Kasus Dugaan Korupsi di Jasindo
Perubahan ini didorong oleh standar pelaporan keberlanjutan global yang semakin banyak diterapkan serta undang-undang di berbagai yurisdiksi yang mewajibkan pengungkapan terkait iklim.
Institusi keuangan kini semakin fokus pada empat area utama risiko iklim fisik yakni risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, dan tekanan modal. Di antara ini, risiko kredit menjadi perhatian khusus bagi bank ritel.
“Selain itu, perubahan iklim meningkatkan profil risiko dasar di banyak lokasi dan selama jangka waktu pemberian pinjaman bank. Pemberi pinjaman kini semakin sadar bahwa dua faktor ini –cakupan asuransi yang rendah dan risiko iklim yang tinggi– dapat menjadi risiko kredit ‘diam’ yang tidak terhitung selama ini,” kata Mortlock.
“Kami sekarang mulai melihat berbagai bank dan institusi keuangan lainnya beralih ke analitik berbasis asuransi tradisional untuk memahami eksposur mereka terhadap risiko iklim dan memasukkannya ke dalam keputusan pemberian pinjaman dan selera risiko mereka,” tambahnya.
|Baca juga: Industri Asuransi Jiwa Optimalkan Kanal Distribusi untuk Tingkatkan Pendapatan Premi
|Baca juga: Mandiri Sekuritas Tawarkan Investasi di SBN Syariah SR021
Ketika kejadian cuaca ekstrem merusak properti, kemampuan rumah tangga, dan bisnis untuk membayar kembali pinjaman mereka terancam, terutama jika cakupan asuransi tidak memadai atau sudah habis. Situasi ini dapat menyebabkan peningkatan gagal bayar dan penurunan nilai properti, yang keduanya menimbulkan risiko besar bagi pemberi pinjaman.
Risiko likuiditas juga menjadi perhatian, karena bencana alam dapat menyebabkan lonjakan permintaan likuiditas dari pelanggan yang terkena dampak. Risiko operasional muncul ketika cuaca buruk mengganggu kemampuan bank untuk melayani pelanggan, sementara tekanan modal dapat terjadi akibat tingginya volume gagal bayar setelah serangkaian bencana alam.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News