Oleh: Budi Sartono Soetiardjo
Prinsip asuransi yang lagi hangat diperbincangan masyarakat belakangan ini adalah itikad baik (Utmost Good Faith), lantaran bermunculannya kasus klaim yang tak terselesaikan dengan baik sehingga berdampak pada citra buruk perusahaan asuransi
Utmost Good Faith adalah janji moral semua pihak yang terlibat langsung dalam transaksi dan interaksi asuransi. Yakni, dari perusahaan asuransi, nasabah/pemegang polis/tertanggung, para agen dan pemasar asuransi, pialang asuransi, reasuransi, hingga pemerintah sebagai regulator dan pengawas industri asuransi. Semuanya harus memiliki komitmen moral terhadap terselenggaranya usaha dan aktivitas asuransi secara jujur, transparan, dan adil.
Para pihak tersebut di atas itulah yang disebut dengan ekosistem asuransi, yang harus bernafaskan sama di dalam mengartikulasikan prinsip itikad baik.
Pasal 251 KUHD menyebut, pembeli polis asuransi atau tertanggung harus menyampaikan secara jujur, terbuka dan transparan atas berbagai hal atau kepentingan yang akan diasuransikan (insurable interest). Sebuah tuntutan yang semestinya ditempatkan secara adil apabila dikaitkan dengan bunyi pasal 246 KUHD yang menyatakan bahwa perusahaan asuransi/penangggung adalah pihak pertama yang terlebih dahulu mendeklarasikan bahwa ia telah mengikatkan diri pada tertanggung, setelah sejumlah premi ia terima.
Oleh karena itu, pasal 246 dan 251 KUHD memiliki konsekuensi hukum bahwa kedua belah pihak harus sama-sama mengimplementasikan prinsip itikad baik secara adil dan berimbang, terutama bagi pihak penanggung yang statement-nya secara eksplisit telah tertuang dalam pasal 246 KUHD.
Polemik dan gugatan terhadap keberadaan pasal 251 KUHD muncul karena adanya ketidak adilan yang dirasakan oleh pemegang polis/tertanggung. Penolakan klaim asuransi dengan alasan yang kurang bisa dipertanggung jawabkan, menjadi awal munculnya konflik atau perselisihan antara penanggung dan tertanggung.
Begitu pula halnya dengan penyampaian informasi palsu atau tindakan memanipulasi data dan fakta oleh pihak tertanggung, yang ironisnya tak terverifikasi dengan baik oleh pihak penanggung, adalah juga merupakan pemicu terjadinya dispute ketika terjadi klaim.
Oleh sebab itu, ekosistem asuransi yang menjunjung tinggi moral, sangat penting dijadikan pedoman bersama agar tak muncul kata pepatah “Ada dusta di antara kita”.
Polis asuransi disusun, ditandatangani, dan diterbitkan oleh perusahaan asuransi. Artinya, ada konsekuensi logis bahwa perusahaan asuransi adalah subjek hukum pertama yang harus menerapkan prinsip itikad baik.
Demikian pula, dengan pihak-pihak terkait langsung lainnya, seperti para pemasar maupun agen asuransi adalah subjek hukum berikutnya yang juga harus secara konsekuen menerapkan prinsip itikad baik.
Polis asuransi sebagai bentuk perjajian tertulis, tentu saja tak hanya berbicara tentang premi (kewajiban tertanggung) maupun klaim (kewajiban penanggung), namun di dalamnya terkandung pula adanya perjanjian tak tertulis (moral) yang dikenal dengan prinsip Utmost Good Faith atau itikad baik.
Modal asuransi adalah kepercayaan (trust), yang bisa luntur apabila salah satu pihak wanprestasi atau memiliki niat tidak baik (bad faith) di dalam bertransaksi asuransi.
Kata kunci agar supaya prinsip Utmost Good Faith tak hanya sebatas slogan adalah dengan membangun ekosistem asuransi yang jujur, committed, dan berkeadilan.
Salam,
Penulis adalah pemerhati publik & asuransi
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News