Media Asuransi, JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menjelaskan asal muasal munculnya beleid tentang Standar Isi Siaran (SIS) di dalam draf RUU Penyiaran. Salah satu yang menjadi polemik belakangan ini adalah mengenai larangan siaran jurnalistik investigasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 50(B) ayat 2 Poin C.
Menurut TB Hasanuddin, pasal tersebut hadir karena adanya saran agar penyiaran mengenai itu dapat dikontrol oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Alasannya karena kalau investigasi jurnalistik itu, misalnya, ada yang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maka sebaiknya itu (ada) sedikit penyeimbang. Lalu, bagaimana materinya? Ya diatur dalam aturan KPI,” ujar TB Hasanuddin, dikutip dari laman resmi DPR, Rabu 15 Mei 2026.
|Baca juga: Puan : Mari Dukung Jurnalisme Sehat dan Berkualitas
Kang TB, sapaanya, melanjutkan produk penyiaran dibawahi langsung KPI. Untuk itu, ia menilai saran tersebut perlu dimuat dalam draf RUU Penyiaran. “Kalau KPI itu khusus penyiaran, tapi kalau produk jurnalis yang umumnya, tulisan dan lain sebagainya itu ke Dewan Pers. Saya kira dikoordinasikan saja arah tugas KPI dengan tugas Dewan Pers,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengaku kalau dirinya tak sepakat dengan adanya pembatasan jurnalistik seperti yang tertuang dalam draf Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
“Saya sendiri setuju tidak usah ada pembatasan. Biarkanlah masyarakat yang mengontrol, tetapi tentu kami harus mendengar beberapa baik positif dan negatifnya, dari hasil investigasi,” ujar Kang TB.
Akan tetapi, menurutnya, pers yang bebas tetap perlu menerapkan kehati-hatian karena produk yang dihasilkan untuk kepentingan rakyat. “Saya kira ada benarnya juga sih. Tapi, tentu dalam kebebasan itu kita juga ada kehati-hatian untuk kepentingan masyarakat,” tutur Hasanuddin.
Selain itu, tambahnya, berbagai pendapat pro dan kontra pada revisi UU tersebut juga terjadi di Komisi I DPR RI. “Ada yang pro dan kontra dan nanti itu finally akan kita bahas dan akan kita diskusi di Baleg,” ungkapnya.
Hasanuddin mengatakan pihaknya akan menampung semua masukan terkait polemik revisi UU Penyiaran. “Ya kita akan tampung semua (masukan) dan kemudian kita akan selesaikan nanti di dalam pembahasan antara Baleg dan komisi,” tukasnya.
Di sisi lain, ia mengomentari ihwal tumpang tindih aturan penyelesaian sengketa jurnalistik antara Dewan Pers dan KPI. Poin tersebut juga menjadi sorotan masyarakat sipil, khususnya dari insan pers. Menurut Hasanuddin, KPI mestinya khusus untuk sengketa penyiaran, sedangkan produk tulisan yang bermasalah diselesaikan di Dewan Pers.
Sengketa jurnalistik penyiaran itu diatur dalam Pasal 42 Ayat 2. Draf beleid itu memberi wewenang KPI sesuai aturan undang-undang. Ada pula Pasal 51 huruf E yang mengatur bahwa sengketa hasil keputusan KPI bisa diselesaikan lewat pengadilan.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News