Media Asuransi, JAKARTA – Pemerintah bertekad menggantikan peran batu bara lewat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi energi bersih atau energi baru dan terbarukan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat hingga tahun 2060, 100% pembangkit akan berasal dari energi terbarukan.
Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Widhyawan Prawiraatmadja, menilai pemerintah setidaknya dapat mengantisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan akibat kebijakan pensiun dini PLTU. Mengingat, terdapat ratusan ribu pekerja yang menggantungkan hidupnya di sektor ini.
Baca juga: Asuransi Simas Jiwa Siap Hadapi Tantangan Bisnis di 2023
Menurut dia, dalam rencana pensiun dini PLTU, persoalan tidak hanya berhenti sebatas pada pemberian kompensasi kepada PLN saja. Namun, para pekerja terutama di sektor-sektor yang mengalami penyesuaian seperti di sektor batu bara juga perlu diperhatikan.
“Kalau kita beralih ke energi bersih menciptakan lapangan kerja. Orang yang bekerja di fosil beralih kecakapannya untuk meng-handle energi bersih, jadi sebenarnya selain merupakan tantangan tetapi juga ada peluang,” kata dia dalam virtual media briefing Indonesia Sustainable Energy Week, Kamis, 6 Oktober 2022.
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah resmi melarang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Tak hanya itu, presiden pun meminta menteri untuk menyusun peta jalan percepatan pengakhiran atau memensiunkan PLTU yang masih beroperasi saat ini.
Baca juga: Jokowi Sampaikan Kabar Buruk, Situasi Ekonomi Makin Tak Terkendali
Kebijakan tersebut resmi tertuang dalam Peraturan Presiden No.112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik.
Peraturan Presiden ini ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 13 September 2022 dan berlaku efektif pada saat diundangkan yakni sama seperti tanggal penetapan, 13 September 2022.
Apabila PLTU Batubara segera dihentikan operasionalnya dan dilarang pembangunan PLTU baru kecuali yang telah masuk dalam RUPTL sampai 2030, maka dikhawatirkan bisa berdampak pada sektor tenaga kerja pertambangan batu bara.
Tak tanggung-tanggung, diperkirakan ratusan ribu orang akan kehilangan pekerjaan. Industri batu bara dan juga PLTU akan terkena dampak signifikan dari kebijakan ini yang tak lain berujung pada upaya mencapai target netral karbon di 2060 atau lebih cepat. Begitu juga dengan dunia yang juga mengurangi penggunaan batu baranya.
Perlu diketahui, batu bara merupakan komoditas andalan RI saat ini. Bahkan, pada 2020 Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Tak ayal bila industri ini menyerap banyak tenaga kerja.
Industri batu bara telah menyerap tenaga kerja di Indonesia hingga 150 ribu pada 2019 lalu. Hal tersebut tertuang dalam data Booklet Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020. “Industri batu bara menyerap tenaga kerja hingga 150.000 pada tahun 2019. Komposisi tenaga kerja asing sebanyak 0,1%,” tulis Booklet Batubara Kementerian ESDM 2020 tersebut.
Jumlah tenaga kerja tersebut bahkan belum termasuk penyerapan tenaga kerja di bidang operasional PLTU. Bila dimasukkan dengan tenaga kerja di PLTU, maka artinya jumlah tenaga kerja yang harus kehilangan pekerjaan menjadi lebih besar lagi.
Bila pemerintah sepenuhnya menghentikan penggunaan PLTU maupun produksi batu bara, maka artinya harus siap-siap membuka lapangan kerja baru untuk ratusan ribu tenaga kerja RI yang saat ini bekerja di industri pertambangan batu bara.
Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, 15 November 2021, mengatakan bahwa pemerintah berencana mengurangi 5,52 GW PLTU sampai 2030, terdiri dari pengurangan PLTU Jawa – Bali sebesar 3,95 GW dan Sumatera sebesar 1,57 GW.
“Kami rencanakan early retirement PLTU batu bara, Jawa-Bali phase out 3,95 GW dan Sumatera phase out 1,57 GW sampai 2030,” kata Arifin Tasrif saat itu. Aha
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News