1
1

Menghadapi Efek Lonjakan Inflasi

Saat ini, semua negara di dunia menghadapi persoalan yang sama yaitu inflasi tinggi. Seperti diketahui bersama bahwa aksi invasi Rusia di Ukraina yang dilakukan sejak 24 Februari 2022 itu telah menga kibatkan terganggunya rantai pasok global sehingga mengerek harga-harga yang pada akhirnya menyebabkan lonjakan inflasi secara global.

Dalam upaya memerangi laju inflasi tersebut, bank sentral di seluruh dunia berjuang keras dengan cara menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Masalahnya, langkah agresif bank sentral ini bukan tanpa efek samping.

Menurut Bank Dunia, kenaikan suku bunga global secara agresif dalam rangka menjinakkan inflasi dapat menyebabkan ekonomi dunia masuk ke jurang resesi pada 2023.

Bak dilema, tanpa dijinakkan maka lonjakan inflasi juga akan berdampak buruk bagi ekonomi global. Bisnis asuransi dan reasuransi adalah salah satu lini usaha yang terdampak oleh tren peningkatan inflasi. Dalam sebuah laporannya, Fitch Ratings memperingatkan bahwa prospek sektor asuransi di Eropa akan bergerak ke arah memburuk jika inflasi tinggi terus berlanjut dan kenaikan suku bunga kian agresif.

Menurut Fitch, sektor asuransi umum akan terkena dampak terburuk terutama perusahaan asuransi yang memiliki proporsi bisnis jangka panjang yang tinggi karena inflasi klaim yang lebih tinggi dapat menyebabkan kekurangan cadangan. Inflasi tinggi juga dapat menyebabkan tekanan margin untuk bisnis jangka pendek di pasar karena persaingan yang kuat. Bisnis asuransi umum yang diperkirakan akan paling tertekan berada di Italia, Inggris, dan Prancis.

Senada, laporan GlobalData juga memperkirakan lonjakan inflasi di Eropa yang mencapai 8,9 persen pada Juli 2022 akan memukul kinerja perusahaan asuransi umum di Benua Biru itu. Laporan ini memperkirakan pertumbuhan premi asuransi di Eropa akan lebih lambat karena kenaikan inflasi berdampak pada kemampuan pemegang polis untuk membayar premi yang lebih tinggi. Selain itu, biaya rata-rata per klaim diperkirakan akan meningkat yang akan mengurangi marjin keuntungan perusahaan asuransi umum. Dua lini bisnis asuransi umum yang diperkirakan sangat terpukul adalah asuransi properti dan asuransi kendaraan bermotor.

Potensi tantangan akibat lonjakan inflasi ini sebenarnya sudah jauh-jauh hari disampaikan oleh Swiss Re Institute. Pada awal tahun ini, Swiss Re memperkirakan tren hardening di industri asuransi Amerika Serikat bakal berlanjut pada tahun 2022 seiring dengan potensi lonjakan inflasi.

Merespons tren lonjakan inflasi ini, pelaku bisnis perasuransian global pun melakukan penyesuaian. Salah satunya adalah Hannover Re yang menyampaikan bahwa pihaknya terus memperbarui asumsi inflasinya dan memasukkannya ke dalam penetapan harga yang disesuaikan dengan risiko.

Bagaimana dengan Indonesia? Bank Indonesia memperkirakan laju inflasi di Indonesia dapat menembus level 6 persen pada akhir tahun ini seiring dengan dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada awal September 2022. Berdasar survei pemantauan harian (SPH) BI, inflasi bulan September 2022 diperkirakan meningkat hingga 5,89 persen. Realisasi inflasi ini jauh di atas target kisaran inflasi BI sebesar 3 persen plus minus 1 persen dan target inflasi pemerintah di kisaran 3,5 persen-4,5 persen.

Menghadapi tren lonjakan inflasi ini, IFG Progress, unit think thank dari Indonesia Financial Group (IFG), menyarankan perusahaan asuransi nasional untuk menyikapinya secara hati-hati. Menurut IFG Progress, kenaikan laju inflasi akan berdampak negatif terhadap kinerja sektor asuransi baik dari sisi kinerja underwriting maupun kinerja investasi.

Kenaikan inflasi terutama pada bahan pangan, energi, dan transportasi akan memukul daya beli dan permintaan masyarakat, khususnya terhadap produk-produk asuransi. Selain berdampak pada konsumsi, kenaikan inflasi yang persisten juga akan berdampak pada produktivitas ekonomi. Dalam kondisi ekonomi yang penuh dengan risiko tersebut, studi IFG Progress menemukan bahwa klaim asuransi biasanya mengalami kenaikan yang signifikan. Pada saat bersamaan, pendapatan premi yang diterima sektor asuransi mengalami penurunan. Alhasil, kinerja underwriting memburuk yang bisa berujung pada pelemahan atau kerugian.

Di sisi lain, kenaikan inflasi yang di atas ekspektasi awal juga berdampak negatif terhadap kinerja portofolio investasi sektor asuransi, khususnya penempatan pada instrumen ekuitas dan Surat Berharga Negara (SBN). Kenaikan inflasi dapat mengoreksi harga obligasi yang berujung turunnya nilai aset SBN, sedangkan laju inflasi tinggi juga akan mengganggu kinerja keuangan emiten yang pada akhirnya mengoreksi kinerja pasar saham.

Menurut IFG Progress, kerugian atau pelemahan dari kinerja underwriting dan investasi akan berdampak pada turunnya total aset nominal dan ekuitas bersih perusahaan asuransi. Sejalan dengan itu, tingkat solvabilitas dari perusahaan asuransi akan turun dan pada akhirnya akan menurunkan posisi Risk Based Capital (RBC). Oleh karena itu, perusahaan asuransi dituntut disiplin dan berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya agar dapat lolos menghadapi masa hardening yang kali ini dipicu oleh lonjakan inflasi

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Best Insurance & Reinsurance 2022
Next Post Kinerja Asuransi Jiwa 2021 Konsisten Menjaga Pertumbuhan

Member Login

or