Siapa sangka, di sebuah kota kecil di pinggiran Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah, ada sebuah museum kendaraan bermotor klasik. Berlokasi di tengah perkampungan yang masih memerlihatkan suasana pertanian dan perkebunan. Museum yang juga dijuluki ‘Kampung Cak Soen ini’ berada di seberang Masjid Taqwa, di desa Tempuran, Paron, Ngawi, Jawa Timur. Lokasinya juga berdekatan dengan Museum Trinil, yang mengoleksi peninggalan benda purbakala fosil manusia purba, fosil banteng purba, dan fosil gajah purba.
Pada pertengahan Juni lalu, bertepatan dengan Puasa Ramadhan 1438 H, Penulis berkesempatan mengunjungi ‘Museum Griya Asri’. Bertempat di sebuah rumah adat khas Ngawi bergaya Limasan,merupakan museum kampung yang didalamnya tersimpan koleksi berbagai jenis kendaraan roda empat dan roda dua antik. Penulis bertemu langsung dengan sang pemilik Griya Asri, yakni Suntoro Haryono. Priaparuh baya yang juga Direktur Utama PT Asuransi Jasaraharja Putra tersebut ke Ngawi sekaligus menghadiri acara kedinasan dalam persiapan jalur Mudik Lebaran Tahun 2017 di Surabaya dan Solo.
Penulis bersama seorang wartawan dari media lain, dengan ditemani Kepala Seksi Humas Jasaraharja Putra dari kantor pusat, yakni Kiki Rohdiana, turun di Bandara Adisumarmo, Solo, kemudian melanjutkan perjalanan darat menuju Ngawi yang memakan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Saat tiba di Museum Griya Asri yang berada di areal tanah seluas 10.000 meter persegi ini, di teras museum dan di bagian kiri serta kanan rumah, tampak terpajang beberapa koleksi mobil antik dan becak tua milik Suntoro. Saat diajak masuk ke dalam ruangan museum, berjejer koleksi mobil dan motor klasik dari berbagai tipe serta ada sejumlah barang antik lainnya dokar, keris, payung pusaka, hingga alat piringan hitam yang merupakan peninggalan orang tuanya. Ada berbagai tipe dan jenis kendaraan ‘jadul’ yang dimiliki museum itu, diantaranya, ada Fiat Konde merah 1100 cc buatan tahun 1951 yang menjadi salah satu mobil klangenan (kesenangan) Suntoro. Selain itu ada mobil peninggalan ayahnya, Fiat 1100 buatan tahun 1959, dan mobil VW Safari 1976, dan VW Kodok 1200 CC tahun 1974. Di teras rumah ada mobil VW merah 1600 setir kiri buatan tahun 1963 dan merek Moris warna krem 1200 cc 1954.
Kalau memerhatikan koleksi sepeda motor antiknya, ada tipe Zundapp 50 CC buatan tahun 1961, yang memiliki pedal hingga bisa dikayuh jika kehabisan bensin. Kemudian ada motor BMW, motor bebek DKW (Dampt Kraft Wagen) buatan Jerman 1956, motor Religh 50 CC asal Inggris 1965, Honda, Yamaha, hingga Ducati 50 CC 1958, dan motor BSA jadul buatan Inggris.
Dokar, sebuah angkutan tradisional roda yang ditarik kuda, ditempatkan di salah satu sudut rumah bagian depan. Menurut keterangan Suntoro, dokar tersebut merupakan salah satu peninggalan ayahnya yang dulu menjabat sebagai kepala desa selama 42 tahun. Saat ini koleksi kendaraan antik yang dipunyai ada 20 mobil dan sepeda motor 28 unit. Meski tidak dipakai sehari-hari, semua kendaraan tersebut masih terdaftar nomornya dan dirawat dengan rapi setiap hari oleh pengelolanya.
Untuk mendapatkan koleksinya itu, Suntoro harus berburu ke berbagai daerah. Ada yang didapat dari Jakarta, Serang, Surabaya, Kediri, Bandung, hingga Aceh. “Nikmatnya seorang kolektor itu ya… saat berburu hingga bisa mendapatkan hasil buruannya,” ucapnya.
Suntoro dengan serius menerangkan berbagai koleksinya sembari sayup-sayup menikmati alunan lagu Jawa. Kami pun berbincangbincang hingga dilanjutkan berbuka puasa bersama dengan tim Jasaraharja Putra. Berbagai masakan khas daerah setempat disuguhkan untuk para tamu yang berbuka puasa.
Museum ini bermula dari semakin banyaknya koleksi mobil dan motor klasik yang dimiliki. Sementara, lahan di Jakarta tidak memungkinkan untuk menyimpan semua koleksinya tersebut. Kini dari koleksi pribadi menjadi koleksi
yang dikelola dengan baik dan rapi oleh Museum Griya Asri. Rumah tersebut awalnya merupakan tempat tinggal pribadi orang tua Soentoro, yakni Marto Haryono dan Isminah yang dibangun pada tahun 1921.
Di atas lahan satu hektar tersebut berdiri empat bangunan induk, yakni rumah depan pendopo, ruang keluarga, rumah samping tempat lumbung padi, dan rumah belakang rumah tinggal dan dapur. Di bagian belakang museum juga dibuat kolam pemancingan, ada tempat penangkaran rusa tutul, burung merak, dan kambing. Ada pula sawah dan lahan untuk berkebun serta area jogging.
Ke depan, suami dari Budi Nastiti Muekodo ini ingin menjadikan rumah tinggal keluarga yang telah ‘disulap’ menjadi museum ini dapat menjadi tempat rekreasi yang asri, lestari, dan nyaman bagi masyarakat. Untuk itu, dia mulai mengembangkan sayap tidak hanya museum kendaraan saja. “Ya, bertahun-tahun saya membangunnya. Banyak kenangan indah yang saya rasakan bersama orangtua dan saudara-saudara saya di rumah itu, terutama pada masa kecil. Karena itu saya ingin melestarikannya,” ujar anak kesembilan dari 10 bersaudara ini.
Saat ini Museum Griya Asri juga sudah dipakai untuk reuni berbagai kalangan maupun acara pernikahan. Menggunakan kendaraan antik berupa mobil maupun motor memang menjadi kesan tersendiri, khususnya bagi pasangan yang melangsungkan pernikahan. Jadi bagi yang tinggal di sekitar daerah Ngawi, dapat menyewa kendaraan antik tersebut sebagai bagian untuk menambah kebahagiaan dalam melaksanakan hari pernikahan atau pun berfoto saat reuni bersama teman-teman. W. Widiastuti
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News