Media Asuransi, JAKARTA – Presiden Joko Widodo dinilai susah untuk mengambil jarak yang proporsional dalam Pilpres 2024 karena salah satu cawapresnya merupakan putranya.
“Dalam undang-undang pemilu memang tidak mengatur mengenai conflict of interest, tetapi bagaimana mungkin Jokowi dapat mengambil jarak yang proporsional, jika salah satu cawapresnya merupakan anaknya sendiri? Tentu ada ikatan kontak batin yang dirasakan,” kata Ahmad Khoirul Umam, dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina dalam Diskusi bertajuk “Presiden Berkampanye?” yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara daring, Senin, 29 Januari 2024.
Dia mengungkapkan adanya ketidakmampuan dalam memilah ruang privat dengan ruang publik yaitu adanya kekuasaan negara menjadi tidak netral hingga berbagai lembaga menjadi alat kemenangan politik termasuk dalam skala yang lebih besar dalam terjadinya abuse of power. Bukan lagi ancaman mengenai legitimasi, kemudian bagaimana nama baik dan masa depan demokrasi.
|Baca juga: Jelang Pemilu, DPR Tekankan Netralitas ASN
Afiq Naufal, Ketua SEMA Paramadina dalam paparannya menyatakan bahwa seharusnya presiden tidak menggunakan kewenangannya untuk berpihak, keberpihakan presiden tidak hanya kepada pejabat politik tetapi sebagai penguasa.
“Kebebasan pendapat di represi, padahal membicarakan mengenai keputusan MK, Bansos, dan lain sebagainya yang merupakan sebuah keberpihakan presiden. Yang menjadi permasalahan adalah bukan keberpihakan politik tetapi keberpihakan kekuasaan. Jika Raja sudah bergerak, berarti menjadi tanda-tanda pertarungan yang sangat berbahaya,” katanya.
Titi Anggraini, Dewan Pembina Perludem mengungkapkan bahwa kampanye hanya boleh dilaksanakan oleh pelaksana kampanye, diikuti oleh peserta kampanye. Ada regulasi teknis di dalamnya dengan ditembuskan kepada KPU, Bawaslu, dan jajarannya.
“Dalam hal presiden dan kampanye pemilu, berdasarkan regulasi tenis yang ada, karena tidak didaftarkan sebagai Pelaksana Kampanye, maka Presiden Jokowi tidak bisa jadi pelaksana kampanye untuk berkampanye bagi partai politik atau pasangan calon manapun untuk Pemilu 2024,” lanjutnya.
Titi memaparkan bahwa Presiden bisa ikut menjadi peserta kampanye, tetapi harus mengajukan cuti dan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan kecuali pengamanan sebagaimana ketentuan Pasal 281 UU 7/2017 vide PP 32/2018. “Bawaslu harus melakukan pengawasan terhadap pejabat negara berlatar belakang partai politik untuk mencegah politisasi dan penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan pemenangan pemilu,” tuturnya.
|Baca juga: KORPRI Setjen DPR RI Diharapkan Jaga Netralitas Jelang Pemilu
Muhammad Isnur, Ketua Umum YLBHI menyinggung upaya melemahkan partai dengan adanya konflik yang terjadi sebagai cara utama untuk ikut serta kekuasaan pemerintah atau presiden. “Hal tersebut membuat semuanya tunduk seiya sekata dengan pemerintah, bahkan MK dan KPK yang diharapkan oleh masyarakat tak lagi berani dan bisa dengan tegas dalam memutuskan sebuah permasalahan,” papar Isnur.
Zaenal Arifin Muchtar, Dosen Tata Negara UGM mempertanyakan jika presiden melakukan cuti. “Bagaimana dengan tugas pemerintahan dijalankan oleh siapa? Lalu izin kepada siapa? Sebenarnya bukan hanya sekadar bisa atau boleh presiden berkampanye secara hukum, tetapi terlalu banyak komplikasi hukum yang terjadi karena undang-undang 7 tahun 2017 tidak mengaturnya secara detail.”
Undang-undang 30 tahun 2014, presiden tidak boleh melakukan tindakan yang bukan merupakan kepentingan negara tetapi mengedepankan kepentingan pribadi. Berat bagi presiden untuk melakukan kampanye bahkan melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu paslon. Dengan ada salah satu anaknya saja yang menjadi cawapres, hal itu sudah sangat merugikan paslon lainnya.
“Secara etika politik ini berdiri bukan hanya sekedar undang-undang tapi berdasar pada janji. Sehingga secara etis tuntutannya menjadi sangat berat, karena memperbolehkan berbagai tindakan tidak netral yang dilakukan oleh dirinya maupun para menteri hingga ASN,” tegasnya.
Editor: Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News