1
1

Hikmah di Balik Putusan Mahkamah Konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi. | Foto: Ombudsman

Di awal tahun 2025 ini, pelaku industri asuransi Tanah Air harus menerima putusan ‘getir’ dari Mahkamah Konstitusi dalam perkara Pengujian Materiil Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Gugatan ini dilayangkan oleh Maribati Duha yang merupakan ahli waris dari penerima manfaat asuransi atas nama almarhum Sopan Santun Duha.

Pengujian Pasal 251 KUHD yang mengandung prinsip Utmost Good Faith juga pernah diajukan oleh Leonardo Siahaan yang berprofesi sebagai karyawan swasta pada pertengahan 2023. Oleh para penggugat, keberadaan Pasal 251 KUHD yang menjadi dasar kontrak asuransi tersebut, dituding rawan disalahgunakan oleh perusahaan asuransi untuk membatalkan polis atau menolak klaim secara sepihak. Penerapan ketentuan Pasal 251 KUHD juga dianggap tidak adil karena hanya membebani kewajiban kepada tertanggung.

Dalam sidang yang digelar pada Jumat, 3 Januari 2025 itu, Majelis Hakim MK telah mengetok palu dengan menyatakan bahwa norma Pasal 251 KUHD adalah inskonstitusional bersyarat.

“Menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan,” ucap Ketua Hakim MK, Suhartoyo, saat pembacaan amar Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024.

Menurut MK, norma Pasal 251 KUHD merupakan norma yang berpotensi menimbulkan adanya tafsir yang beragam, khususnya jika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi. Terlebih, norma ini juga tidak mengatur tata cara pembatalan akibat adanya hal-hal yang keliru atau disembunyikan dalam pemberitahuan oleh pihak tertanggung berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh penanggung. Padahal, sifat suatu perjanjian seharusnya memberikan posisi yang seimbang.

Implikasi dari keputusan MK yang bersifat final dan binding tersebut adalah perusahaan asuransi atau penanggung tidak dapat dengan serta-merta melakukan tindakan pembatalan polis asuransi, tanpa didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasar putusan pengadilan.

Menanggapi putusan ini, Dewan Asuransi Indonesia (DAI) sebagai asosiasi induk yang mewadahi seluruh asosiasi perasuransian nasional merespons dengan positif. Putusan ini dinilai sebagai langkah fundamental dalam memperkuat kepastian hukum, transparansi, dan akuntabilitas di sektor perasuransian serta memberikan pelindungan yang lebih baik bagi masyarakat sebagai konsumen jasa keuangan.

Secara teknis, ada pekerjaan berat yang harus dilakukan oleh seluruh pelaku industri perasuransian nasional. Di antaranya memperbaiki kontrak asuransi, khususnya klausula pembatalan polis.

Perusahaan asuransi juga harus meningkatkan ketelitian, kecermatan, dan analisis risiko dalam proses underwriting terhadap objek pertanggungan yang akan diasuransikan. Sekali teledor, maka hal ini akan membuka celah terjadinya fraud, moral hazard, atau sengketa yang akan merugikan perusahaan asuransi, karena ‘maling’ atau ‘penjahat’ itu akan selalu ada.

Selain itu, putusan MK ini menjadi momentum bagi insan perasuransian untuk kian menggencarkan literasi dan edukasi asuransi, khususnya terkait prinsip Utmost Good Faith dalam perjanjian asuransi. Pasalnya, selama ini istilah Utmost Good Faith tidak familiar di kalangan masyarakat, khususnya tertanggung. Tak hanya itu, format penulisan polis asuransi yang ditulis denganfontkecil dan menggunakan bahasa hukum juga membuat calon tertanggung umumnya enggan membaca polis. Akibatnya, bila klaim ditolak maka tertanggung akan playing victim dan menuding perusahaan asuransi tidak transparan.

Di sisi lain, putusan MK ini akan membuat tertanggung mendapat informasi yang komprehensif terkait hak dan kewajiban serta do’s and don’ts yang tertuang dalam perjanjian asuransi dengan penanggung. Dengan begitu, diharapkan perjanjian asuransi dapat berjalan dengan baik, transparan, dan adil. Pasalnya, antara penanggung dan tertanggung memiliki kesetaraan posisi dalam suatu perjanjian asuransi.

Bila kondisi ideal ini terwujud, maka kepercayaan masyarakat terhadap asuransi akan meningkat. Ujungnya, bisnis asuransi akan tumbuh dan berkembang pesat mengingat potensi penetrasi asuransi di Indonesia yang masih sangat besar. Ingat, tanpa tertanggung, bisnis asuransi tidak akan berjalan sehingga kedua belah pihak harus benar-benar menjalankan prinsip Utmost Good Faith dalam pengikatan kontrak asuransi.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Profil Indra Widjaja, Petinggi Sinarmas yang Terseret Pusaran Korupsi Taspen
Next Post OJK Optimistis Premi Unitlink Tumbuh di Tahun 2025 Ini
mediaasuransi_pd_728x90_std_hsbc mediaasuransi_pd_300x600_std_hsbc mediaasuransi_pd_300x250_std_hsbc mediaasuransi_pd_320x100_std_hsbc mediaasuransi_pd_320x50_std_hsbc mediaasuransi_pd_320x480_std_hsbc

Member Login

or