Media Asuransi, GLOBAL – Laporan terbaru dari QBE Insurance menyatakan jumlah serangan siber global yang mengganggu dan merusak diperkirakan meningkat sebesar 105 persen hingga akhir 2024. Serangan siber yang signifikan dan merusak ini diprediksi lebih dari dua kali lipat menjadi 211 kasus, dibandingkan dengan 103 pada 2020.
Perkiraan ini muncul saat pemerintah baru Inggris mempertimbangkan undang-undang untuk memperkuat keamanan siber negara tersebut. Langkah ini diambil setelah serangkaian serangan siber yang menimbulkan kerugian besar.
|Baca juga: 2 Perusahaan Asuransi Mau Tutup, Regulasi Ketat Jadi Biang Keroknya?
|Baca juga: 52 Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Terbaik di 2024
Laporan tersebut juga menyoroti kegagalan sistem Falcon Sensor dari CrowdStrike pada 19 Juli 2024, yang menyebabkan perusahaan-perusahaan dalam daftar Fortune 500 mengalami kerugian hingga US$5,4 miliar dan penurunan nilai saham sebesar US$25 miliar.
Dilansir dari laman Reinsurance News, Kamis, 3 Oktober 2024, para penjahat siber dengan cepat memanfaatkan kejadian ini melalui kampanye phishing untuk mencuri data dan merusak sistem. QBE mencatat 69 persen bisnis menengah hingga besar di Inggris mengalami gangguan akibat serangan siber dalam 12 bulan terakhir.
Dari survei terhadap 300 pengambil keputusan di bidang IT, 78 persen perusahaan menyatakan khawatir terhadap ancaman siber, dan 51 persen mengharapkan serangan siber terjadi dalam setahun ke depan. Namun, 36 persen dari mereka tidak memiliki rencana respons insiden, dan 43 persen tidak memiliki asuransi siber.
|Baca juga: MAIPARK Targetkan Ekuitas Rp2 Triliun di 2028
|Baca juga: Bos AAUI Sebut Masih Ada Tantangan yang Harus Dihadapi Industri Asuransi, Apa Itu?
Sebagai tanggapan terhadap insiden CrowdStrike, 57 persen perusahaan menyatakan akan mempertimbangkan untuk membeli atau memperluas cakupan asuransi siber mereka. Selain itu, bisnis juga semakin mengandalkan kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan keamanan siber mereka.
Manajer Portofolio Asuransi Siber QBE David Warr mengatakan meskipun adopsi asuransi siber masih lambat di beberapa bagian dunia, namun serangan siber seperti CrowdStrike telah meningkatkan kesadaran perusahaan terhadap risiko siber dan pentingnya perlindungan asuransi.
QBE memperkirakan jumlah korban serangan ransomware akan meningkat sebesar 11 persen dari 4.698 pada 2023 menjadi 5.200 pada 2025, dengan sektor-sektor seperti manufaktur, kesehatan, IT, pendidikan, dan pemerintahan yang paling rentan.
|Baca juga: Bidik Jadi KPPE 2, Asei Siap Tingkatkan Kapasitas Permodalan Menuju 2028
|Baca juga: Penjelasan Allianz tentang Izin Pembentukan Unit Usaha Syariah yang Dicabut OJK
Laporan ini juga mencatat bahwa 61 persen perusahaan berencana meningkatkan asuransi siber mereka setelah insiden CrowdStrike, sementara 45 persen dari perusahaan yang belum memiliki asuransi berencana untuk membeli asuransi siber dalam waktu dekat.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News