Media Asuransi, GLOBAL – Ekonomi global menghadapi tantangan penting di 2025 dengan sejumlah negara berupaya mengurangi dukungan publik sembari mendorong pertumbuhan sektor swasta.
Meski pertumbuhan di Amerika Serikat (AS) diproyeksikan melambat menjadi 1,7 persen, namun ekonomi global tetap diperkirakan tumbuh sebesar 2,8 persen. Pertumbuhan ini didukung oleh stimulus ekonomi China serta kebijakan penurunan suku bunga The Fed yang diharapkan akan dimulai.
|Baca juga: Kuartal III, Laba China Life Insurance Meroket 174% Ditopang Kuatnya Hasil Investasi
|Baca juga: Laba Bersih Indolife Naik 66,65% di Kuartal III/2024
Kepala Ekonom Allianz Ludovic Subran menyebutkan pemilihan Presiden AS akan memiliki dampak besar pada inflasi, pertumbuhan, dan perdagangan.
“Akan ada kekhawatiran lebih besar terhadap resesi, dengan risiko pendaratan ekonomi yang tidak terkendali, peningkatan pengangguran, serta keprihatinan bagaimana warga AS menghadapi kenaikan pajak terutama terkait investasi di bidang transisi hijau dan digital,” ungkap Subran, dikutip dari The Business Times, Senin, 4 Oktober 2024.
Sementara itu, kemenangan Kamala Harris bisa memicu kekhawatiran akan resesi akibat kenaikan pajak dan potensi hilangnya lapangan kerja. Di sisi lain, jika Donald Trump menang, inflasi bisa melonjak hampir satu setengah poin karena kebijakan tarif dan deportasi yang ia janjikan.
Subran juga memperkirakan di bawah Pemerintahan Harris, The Fed memiliki ruang yang lebih luas untuk melanjutkan penurunan suku bunga hingga 100-150 basis poin pada Januari hingga September 2025, yang diharapkan menurunkan suku bunga utama menjadi sekitar tiga persen.
|Baca juga: Panduan Lengkap tentang Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional, Wajib Baca!
|Baca juga: Saling Menjaga Kepercayaan antara Asuransi dan Nasabah dengan Utmost Good Faith
Namun, jika inflasi melonjak karena kebijakan Trump, siklus penurunan suku bunga dapat terhenti di tengah jalan dan mengganggu stabilitas pasar, perumahan, dan kualitas kredit. Sementara itu, ekonomi China mendapat dorongan dari kebijakan bank sentral China yang bertujuan merangsang pertumbuhan.
Subran menyatakan paket kebijakan tersebut sangat komprehensif dan berpotensi meningkatkan pertumbuhan China hampir satu poin dalam 12 hingga 18 bulan ke depan. Namun, ia menekankan, reformasi struktural masih diperlukan untuk membangkitkan ekonomi China dalam jangka panjang.
Dalam laporan terbaru Allianz Trade, terlihat kebangkrutan bisnis global diproyeksikan naik 11 persen tahun ini, terutama disebabkan masalah likuiditas. Banyak perusahaan menghadapi risiko gagal bayar akibat kebutuhan modal kerja yang meningkat. Di 2025, kebangkrutan bisnis global diperkirakan moderat dua persen, terutama usaha kecil dan menengah.
|Baca juga: Tips Mempermudah Pengiriman Uang untuk Milenial dan Gen Z yang Menempuh Studi di Luar Negeri
|Baca juga: 659 Pelaku Jasa Keuangan di Pasar Modal Dikenai Sanksi oleh OJK
Ke depan, Subran memperhatikan adanya risiko polarisasi sosial seiring meredanya krisis biaya hidup. Menurutnya, jika inflasi melonjak, sejarah menunjukkan kerusuhan sosial dapat muncul lima hingga 10 tahun setelah puncaknya. Karena itu, ia menekankan pentingnya menjaga kohesi sosial dan memastikan pertumbuhan yang inklusif sebagai langkah kunci.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News